Seperti biasa, kakinya membawanya ke Café Celestia—sudut kecil di pusat kota yang nyaris tak pernah ramai. Bukan café terkenal, tapi aroma kopi panggang dan musik jazz pelan di dalamnya selalu memberinya alasan untuk singgah. Di sini, ia merasa tak dituntut untuk jadi siapa pun.
Raka memilih meja pojok dekat jendela, tempat favoritnya. Ia membuka laptop, menatap layar kosong, lalu menghela napas. Jurnal digitalnya penuh dengan catatan-catatan setengah hati: rencana kerja, daftar to-do yang tak pernah ia selesaikan, dan satu-dua refleksi tentang betapa hidupnya terasa… hambar.
Aku bahkan lupa kapan terakhir kali merasa benar-benar hidup, tulisnya.
Ia menutup laptop, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Sesuatu dalam dirinya sering bertanya, “Apa ini saja yang disebut hidup?” tapi ia tak punya jawaban. Rasanya seperti berjalan di lorong panjang yang sama setiap hari, tanpa pintu keluar.
Di luar, hujan mulai turun, titik-titik air menari di kaca jendela. Raka meraih cangkir kopinya—Americano panas, minuman yang selalu ia pesan—dan menyeruputnya pelan. Hangat, pahit, dan… biasa saja.
Hari ini tak ada yang berbeda. Atau begitulah yang ia kira.