Malam itu Café Celestia lebih sepi dari biasanya. Hujan rintik-rintik di luar membuat suasana semakin intim. Raka dan Aluna duduk di meja mereka, masing-masing memegang cangkir kopi yang sudah setengah dingin.
Percakapan mengalir ringan sampai Aluna bertanya, hampir tanpa sadar:
“Apa yang membuatmu berhenti menulis dulu?”
Pertanyaan itu menghentikan Raka sejenak. Ia menatap permukaan kopi di depannya, seolah mencari jawaban di sana.
“Aku… dulu terlalu takut melihat diriku sendiri,” katanya akhirnya.
Aluna menunggu, tidak menyela. Tatapannya tenang, memberi ruang.
“Aku pernah menulis cerita tentang seseorang yang sangat penting buatku,” lanjut Raka pelan. “Tapi akhirnya dia pergi… dan setiap kali aku mencoba menulis lagi, aku cuma melihat bayangannya. Rasanya seperti terus mengupas luka yang belum sembuh.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Raka jarang sekali membicarakan masa lalu itu—bahkan kepada dirinya sendiri. Tapi malam ini, dengan Aluna, ia merasa tidak perlu menyembunyikan apa pun.
Aluna menatapnya lembut.
“Kadang luka lama memang tidak pernah benar-benar hilang. Tapi… kalau kita terus menghindarinya, luka itu tidak akan pernah berubah jadi sesuatu yang lain.”
Raka mengangkat kepalanya, bertemu pandang dengan Aluna. Ada ketulusan di matanya, sesuatu yang membuat dada Raka terasa sesak.
“Mungkin aku takut kalau aku benar-benar sembuh… aku juga akan kehilangan bagian dari diriku yang dulu,” katanya lirih.
Aluna tersenyum tipis.
“Atau mungkin kamu akan menemukan dirimu yang baru. Kadang kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan sesuatu yang lebih berarti.”
Malam itu mereka tidak banyak bicara lagi. Tapi bagi Raka, percakapan singkat itu meninggalkan bekas yang dalam. Dalam perjalanan pulang, ia merasakan luka lama itu terbuka lagi—tapi untuk pertama kalinya, rasa sakitnya tidak hanya melelahkan. Ada sesuatu yang lain: kemungkinan untuk sembuh.