Davin jarang merasa gelisah. Hidupnya biasanya mengalir seperti sungai tenang, tak terganggu oleh riak kecil. Tapi sejak food court tutup untuk renovasi, ada kekosongan yang terus menghantamnya setiap hari. Seolah-olah seseorang telah mematikan satu-satunya lampu yang memberi warna pada rutinitasnya.
Suatu malam, Davin duduk di depan laptop, folder “Smile” terbuka. Ia menatap foto-foto itu, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membawanya ke sumbernya. Di beberapa foto, ada logo kecil di tote bag Nadya. Di foto lain, ada kartu ID kantor yang tergantung di lehernya, meski tulisan di situ buram.
Kalau aku benar-benar ingin tahu… aku harus berhenti hanya menatap dari jauh, batinnya.
Keesokan harinya, Davin mulai melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya: berjalan di sekitar gedung-gedung perkantoran setelah jam kerja, kamera tergantung di leher, seolah sedang melakukan sesi fotografi biasa. Ia berharap keberuntungan berpihak padanya. Hari pertama, nihil. Hari kedua, sama.
Hari ketiga, ia menemukan petunjuk baru. Di dekat sebuah kafe yang ramai, ia melihat seorang barista mengenakan tote bag dengan logo yang sama seperti di foto. Ia memberanikan diri bertanya, “Mbak, logo ini… dari komunitas apa ya?”
Barista itu tersenyum ramah. “Oh, itu komunitas fotografi City Lens. Mereka sering ngumpul di taman kota tiap akhir pekan.”
Komunitas fotografi? Jantung Davin berdegup. Setidaknya sekarang ia punya arah.
Akhir pekan itu, Davin datang ke taman kota dengan kamera di tangan. Suasananya hidup: puluhan orang dengan kamera menggantung di leher, beberapa sedang membidik objek, lainnya bercakap-cakap santai. Davin menyapu kerumunan, mencari wajah yang selama ini hanya ia lihat di layar. Tidak ada.
Ia hampir menyerah ketika mendengar tawa ringan dari sudut taman. Tawa yang terlalu akrab untuk salah. Matanya menemukan sosok itu—Nadya—berdiri di bawah pohon besar, berbicara dengan beberapa anggota komunitas lain. Senyum itu muncul lagi, senyum yang selama ini menjadi candunya.
Davin berdiri terpaku. Dunia nyata tiba-tiba terasa terlalu nyata—jauh dari layar laptopnya, jauh dari jarak aman lensa kamera. Ini kesempatan yang selama ini ia tunggu, tapi tubuhnya seakan tak mau bergerak.
Langkah pertama… cuma langkah pertama, pikirnya.
Tapi sebelum ia bisa menguatkan diri, Nadya sudah bergabung dengan teman-temannya dan berjalan menjauh. Davin terlambat lagi, hanya bisa mengikuti dengan tatapan yang penuh rindu dan penyesalan.
Namun kali ini, ada satu hal yang berubah: ia tahu di mana bisa menemukannya lagi.