Malam itu, mereka kembali duduk di meja favorit di Café Celestia, ditemani alunan musik jazz yang lembut. Hujan sudah berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar masuk lewat jendela terbuka.
Aluna tampak berbeda. Ada kegelisahan samar di matanya, sesuatu yang belum pernah Raka lihat sebelumnya.
“Raka,” katanya pelan, “boleh aku jujur tentang sesuatu?”
Raka meletakkan cangkirnya.
“Tentu.”
Aluna menarik napas panjang sebelum berbicara.
“Aku… sebentar lagi mungkin harus pergi dari kota ini. Ada tawaran mengajar seni di luar negeri. Kesempatan yang selama ini aku kejar, tapi sekaligus membuatku ragu.”
Raka terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, berat, nyaris tidak masuk akal bagi pikirannya yang baru saja merasa menemukan sesuatu.
“Kapan…?”
“Beberapa bulan lagi,” jawab Aluna. “Belum pasti, tapi kemungkinan besar iya. Ini impian yang sudah lama aku kejar. Tapi aku tidak tahu apakah aku siap meninggalkan semuanya di sini.”
Raka mencoba tersenyum, meski dadanya terasa sesak.
“Itu kabar bagus, kan? Kamu akhirnya dapat kesempatan itu.”
Aluna menunduk, memainkan sendok di cangkirnya.
“Bagus, tapi juga menakutkan. Aku takut kehilangan bagian diriku di sini—orang-orang, tempat… dan mungkin momen-momen seperti ini.”
Raka tidak tahu harus berkata apa. Ada bagian dari dirinya yang ingin meminta Aluna untuk tinggal, tapi ada bagian lain yang mengerti bahwa mimpi seseorang bukan sesuatu yang bisa ditahan.
Malam itu, percakapan mereka berjalan seperti biasa, tapi ada jarak baru yang samar di antara mereka—sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Dalam perjalanan pulang, kata-kata Aluna terus terngiang di kepala Raka:
“Aku mungkin harus pergi…”
Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Raka merasakan ketakutan nyata: bagaimana jika semua ini hanya sementara?