Pertemuan berikutnya dengan komunitas City Lens terasa berbeda. Davin tidak lagi berdiri di tepi kerumunan; ia mulai menemukan ritme di tengah percakapan para anggota. Kali ini, ia sengaja datang lebih awal, berharap bisa melihat Nadya lagi.

Ketika Nadya tiba, senyum refleks muncul di wajah Davin. Ia mencoba tetap santai, hanya melambaikan tangan kecil saat mata mereka bertemu sekilas. Nadya membalas dengan anggukan ringan dan senyum tipis—senyum yang membuat jantung Davin berdebar lebih cepat.

Sesi foto dimulai. Kali ini, Davin tidak hanya fokus pada objek-objek lain; ia memberanikan diri berjalan ke arah Nadya yang sedang memotret bunga liar di sisi taman.
“Kamu pakai lensa fix ya?” tanyanya pelan.

Nadya menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum ramah. “Iya, 50mm. Aku suka hasilnya lebih natural.”
“Oh… aku juga suka lensa itu,” jawab Davin, berusaha terdengar santai. Percakapan kecil itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum Nadya kembali fokus pada kameranya, tapi bagi Davin, itu terasa seperti sebuah pencapaian.

Minggu-minggu berikutnya, jarak mereka perlahan menyempit. Mereka mulai sering berbicara tentang fotografi—soal teknik, objek favorit, dan cerita di balik foto masing-masing. Setiap interaksi kecil, setiap senyum Nadya, menjadi bahan bakar baru bagi keberanian Davin.

Di sebuah pertemuan, Nadya tanpa sengaja menatap layar kameranya bersama Davin.
“Bagus, ya. Aku suka fotonya,” katanya sambil menunjuk hasil bidikan Davin. “Kamu punya cara nangkep momen yang beda.”
Davin tersenyum, merasa sesuatu di dadanya menghangat. “Makasih. Aku cuma… suka menangkap hal-hal yang orang lain kadang lewatkan.”

Nadya mengangguk setuju, dan untuk pertama kalinya, senyum mereka bertemu tanpa lensa di antara mereka.

Namun, meskipun jarak itu semakin dekat, Davin masih menyimpan rahasia besar: folder “Smile” yang penuh dengan foto-foto Nadya dari kejauhan. Setiap kali ia menatap foto-foto itu di malam hari, perasaan campur aduk kembali menghantamnya—antara kebahagiaan memiliki sesuatu yang tidak diketahui siapa pun, dan ketakutan kalau suatu hari Nadya mengetahuinya.

Malam itu, sebelum tidur, Davin menatap layar laptopnya dan berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku ingin mengenalnya… bukan cuma mengaguminya.”