Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda. Raka dan Aluna masih sering bertemu, masih menghabiskan sore di Café Celestia, masih berbagi tawa dan cerita seperti sebelumnya. Tapi di balik setiap percakapan, ada sesuatu yang menggantung—bayangan hari ketika Aluna mungkin harus pergi.
Suatu sore, mereka duduk di meja mereka, menikmati sisa cahaya senja yang menembus kaca jendela. Raka memperhatikan cara Aluna tersenyum sambil bercerita tentang kelas seninya, gerak tangan yang hidup, dan kilau di matanya ketika berbicara tentang murid-muridnya.
Ia menyadari betapa ia mulai menghafal setiap detail kecil itu—mungkin tanpa sadar, mungkin karena takut suatu hari semua itu hanya akan tinggal kenangan.
“Kamu kelihatan banyak pikiran,” kata Aluna tiba-tiba, memecah lamunannya.“Tidak juga,” jawab Raka, mencoba tersenyum. “Aku cuma… menikmati momen ini.”
Aluna menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Aku juga,” katanya pelan. “Mungkin lebih dari yang seharusnya.”
Di antara mereka, percakapan tetap mengalir seperti biasa—tentang lukisan yang sedang Aluna kerjakan, tentang tulisan baru Raka. Tapi setiap kata terasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang rapuh dan mudah pecah.
Malam itu, Raka mengantar Aluna pulang. Di depan pintu apartemennya, mereka berdiri dalam diam, hujan tipis kembali turun.
“Sampai jumpa besok?” tanya Raka.“Sampai jumpa besok,” jawab Aluna, senyum samar di wajahnya.
“Aku mulai mengukur kebahagiaan dari seberapa banyak waktu yang tersisa sebelum dia pergi.”