Sejak insiden di kafe itu, Davin merasa seperti hidup di bawah awan gelap. Setiap kali ponselnya bergetar, ada rasa was-was yang menusuk dada—takut kalau itu pesan dari Nadya, bertanya tentang foto-foto di folder Smile.

Di setiap pertemuan komunitas, Davin tidak bisa lepas dari rasa curiga. Matanya sesekali mencari Rafi, mencoba membaca apakah ia bercerita ke orang lain. Tapi Rafi tetap bersikap biasa, seolah-olah insiden itu tidak pernah terjadi. Tetap saja, Davin tidak bisa tenang.

Kedekatannya dengan Nadya terus berkembang. Mereka sering berjalan berdua seusai pertemuan komunitas, membicarakan fotografi, musik, dan hal-hal sepele. Nadya mulai membuka diri, berbagi cerita tentang masa kecilnya, bahkan mimpi-mimpi yang ingin ia kejar.

Suatu sore, di taman kota yang mulai sepi, Nadya tertawa kecil setelah Davin bercerita tentang kesalahannya saat belajar memotret. Senyum itu—senyum yang dulu hanya ia lihat lewat layar—kini ada di hadapannya, begitu nyata dan dekat.

Namun di balik kehangatan itu, ada rasa takut yang mencengkeram: Bagaimana kalau dia tahu semuanya? Apa yang dia pikirkan tentangku?

Malamnya, Davin kembali membuka folder Smile. Setiap foto kini seperti pisau bermata dua: kenangan indah sekaligus pengingat rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Ia bahkan mulai menghapus beberapa foto lama, berharap bisa mengurangi rasa bersalah, tapi setiap kali jarinya menekan tombol delete, ia terhenti.

Di kantor, Reza juga mulai curiga.
“Lu kenapa, Vin? Akhir-akhir ini kayak orang dikejar sesuatu aja,” godanya.
Davin hanya menggeleng samar. “Nggak… cuma lagi banyak pikiran.”

Di lubuk hati, Davin tahu bayang-bayang kebocoran itu tidak akan hilang sampai ia menghadapi kenyataannya sendiri—atau sampai rahasia itu benar-benar terbongkar.