Hujan turun deras malam itu, lebih deras dari biasanya. Jalanan kota dipenuhi genangan yang memantulkan lampu-lampu neon. Raka berlari kecil menuju Café Celestia, berharap menemukan kembali rasa hangat yang dulu selalu ada di sana.

Begitu memasuki café, denting lonceng kecil menyambutnya—suara yang biasanya membawa harapan. Tapi malam ini, meja di pojok jendela kosong. Tidak ada Aluna, tidak ada senyum yang menenangkannya.

Raka memesan kopi hitam, duduk di kursi yang sama, menatap hujan di balik kaca. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Aluna hanya terlambat, bahwa pintu akan terbuka kapan saja. Setiap kali lonceng berdenting, jantungnya berdebar—dan setiap kali, bukan Aluna yang datang.

Waktu berjalan lambat. Kopinya mendingin, tapi ia tidak beranjak. Di luar, hujan terus menari di jalanan gelap, membentuk pola-pola yang kacau.

Raka meraih ponsel, membuka pesan terakhir dari Aluna—hanya satu kata: “Maaf.” Tidak ada penjelasan, tidak ada janji kapan mereka akan bertemu lagi.

Untuk pertama kalinya, Café Celestia terasa asing. Ruang yang dulu menjadi tempat pertemuan mereka kini hanya menjadi tempat Raka menunggu bayangan yang tak kunjung datang.

Ia menulis di jurnalnya malam itu:

“Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan: kehilangan seseorang, atau menunggu tanpa tahu apakah masih ada yang ditunggu.”

Dan di tengah malam yang sepi, Raka sadar bahwa kehadiran Aluna bukan lagi sesuatu yang pasti. Hujan malam itu menjadi saksi betapa kosongnya ruang di sampingnya.