Beberapa hari setelah malam hujan itu, Aluna akhirnya menghubungi Raka. Pesannya singkat: “Bisa ketemu di Celestia besok sore?”

Raka datang lebih awal, mencoba menenangkan pikirannya. Saat Aluna tiba, ia melihat bayangan kelelahan di wajahnya—senyum yang dipaksakan dan mata yang penuh keraguan.

Mereka duduk di meja yang dulu terasa seperti milik mereka, namun kini seolah ada dinding tak kasat mata di antara keduanya.

“Aku sudah menerima tawaran itu,” kata Aluna akhirnya.
“Kapan?” suara Raka nyaris berbisik.
“Sebulan lagi. Semua sudah pasti.”

Raka menunduk, menahan napas. Bagian dari dirinya ingin meminta Aluna untuk bertahan, tapi kata-kata itu tidak pernah keluar. Ia tahu, jika ia mencintainya, ia harus membiarkannya mengejar mimpinya.

“Aku seharusnya senang untukmu,” katanya akhirnya.
“Aku tahu,” jawab Aluna, matanya melembut. “Aku juga berharap kamu bisa. Tapi aku juga takut… meninggalkan semua ini, meninggalkanmu.”

Mereka terdiam lama, membiarkan suara musik dan obrolan pengunjung lain mengisi kekosongan.

Raka menyadari bahwa inilah titik yang selama ini ia takuti—momen ketika ia harus memilih: bertahan dalam ketakutan kehilangan, atau merelakan seseorang yang berarti baginya untuk terbang lebih jauh.

Di rumah malam itu, Raka menulis di jurnalnya:

“Mencintai berarti memberi kebebasan, bahkan jika itu berarti aku harus kehilangan.”

Keputusan itu tidak membawa kelegaan, tapi setidaknya memberi arah. Ia tahu, sebulan ke depan akan menjadi waktu yang paling berarti—dan paling menyakitkan—dalam hidupnya.