Dua hari setelah pameran, pesan itu datang.

Nadya:
“Vin, ada waktu buat ketemu? Aku mau ngobrol soal sesuatu.”

Davin menatap layar ponselnya lama, jantungnya berdegup tak beraturan. Ia tahu ini bukan obrolan biasa.

Mereka bertemu di sebuah kafe yang sering jadi tempat berkumpul komunitas. Nadya sudah menunggu di sudut, mengenakan kemeja putih sederhana, rambutnya diikat rendah. Senyum yang biasa Davin rindukan kini tidak ada; yang ada hanya ekspresi serius yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.

“Thanks udah mau ketemu,” kata Nadya ketika Davin duduk di depannya.

“Ya, tentu. Ada apa?” Davin mencoba terdengar tenang, tapi suaranya sedikit bergetar.

Nadya membuka ponselnya, memperlihatkan foto “The Girl with the Contagious Smile” yang sempat viral. “Ini kamu yang foto, ya?”

Davin merasakan dunia di sekitarnya seakan berhenti. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. “Aku… iya,” jawabnya akhirnya, hampir seperti bisikan.

Nadya menghela napas panjang, pandangannya tidak lepas dari Davin. “Kenapa nggak bilang dari awal?”

“Aku… nggak tahu harus gimana,” kata Davin, suaranya serak. “Awalnya aku cuma… suka senyummu. Aku lihat kamu di food court, dan… entah kenapa, setiap kali kamu senyum, rasanya hari aku jadi lebih baik.”

Nadya menatapnya lama. “Jadi semua foto itu… kamu ambil diam-diam?”

Davin menggigit bibirnya. “Iya. Dan aku tahu itu salah. Tapi aku nggak pernah punya niat buruk, Nadya. Aku cuma… pengecut. Lebih mudah mengagumimu dari jauh daripada mencoba mengenalmu.”

Ada jeda panjang. Nadya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap keluar jendela. “Waktu foto itu viral, aku bingung. Banyak yang bilang senyumku bikin mereka bahagia, tapi aku nggak tahu siapa yang motret. Sekarang aku tahu… dan rasanya campur aduk.”

“Aku bisa hapus semua fotonya,” Davin cepat-cepat menambahkan. “Kalau itu yang kamu mau. Aku cuma nggak mau kamu salah paham.”

Nadya kembali menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut tapi tetap serius. “Vin, kamu ngerti nggak kenapa aku merasa… aneh? Senyum itu—yang aku pikir cuma bagian kecil dari keseharianku—ternyata jadi sesuatu yang kamu simpan selama ini.”

Davin menunduk, rasa bersalah mengalir deras. “Aku ngerti. Dan aku minta maaf. Aku nggak punya alasan buat ngebenerin apa yang aku lakuin.”

Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Lalu Nadya berkata pelan, “Aku nggak tahu harus bereaksi gimana sekarang. Tapi aku pengen jujur: bagian dari diriku… senang tahu ada yang menghargai aku sedalam itu. Tapi bagian lain… masih butuh waktu buat nerima caranya.”

Davin mengangguk pelan. “Aku ngerti. Aku nggak akan maksa. Aku cuma pengen kamu tahu, semua itu nyata. Bukan buat pamer, bukan buat siapa-siapa. Cuma buat aku.”

Nadya menghela napas lagi, kali ini lebih ringan. “Kita lihat aja ke depan gimana, ya?” katanya, suaranya melembut.

Davin mengangguk, meskipun dadanya masih sesak. Ia tahu ini belum berakhir—hanya awal dari percakapan yang lebih panjang. Tapi setidaknya rahasia itu bukan lagi beban yang ia pikul sendirian.