Sejak hari itu, waktu terasa seperti jam pasir yang butir-butirnya jatuh semakin cepat. Sebulan yang tersisa berubah menjadi hitungan mundur yang tidak bisa dihentikan.
Raka dan Aluna sepakat untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama. Mereka kembali ke tempat-tempat yang pernah mereka singgahi: Café Celestia, gang kecil menuju studio seni Aluna, dan taman kota tempat mereka pernah berteduh dari hujan.
Setiap pertemuan penuh tawa, tapi di sela-selanya ada keheningan yang tidak bisa diabaikan. Semakin mereka berusaha menciptakan kenangan baru, semakin mereka sadar bahwa ini semua adalah cara mereka mengucapkan selamat tinggal.
“Lucu, ya,” kata Aluna suatu sore sambil menatap langit senja.“Apa?”“Bagaimana kita tiba-tiba menjadi sangat sadar akan waktu. Setiap detik sekarang terasa begitu berharga.”
Raka hanya mengangguk, memilih menyimpan kata-kata yang mendesak di dadanya. Ia ingin mengatakan bahwa ia berharap waktu bisa berhenti di sini, di momen ini, tapi ia tahu itu mustahil.
Malam terakhir mereka di Café Celestia, hujan turun deras seperti malam pertama mereka bertemu. Mereka duduk di meja yang sama, diam, membiarkan suara hujan menjadi saksi kebisuan mereka.
“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan selamat tinggal,” kata Raka akhirnya.“Mungkin kita tidak perlu mengucapkannya,” jawab Aluna dengan senyum tipis. “Kita hanya perlu percaya bahwa kenangan ini akan tetap ada.”
Saat mereka berpisah malam itu, Raka merasakan sesuatu pecah di dalam dirinya—rasa kehilangan yang sudah ia antisipasi tapi tetap tidak siap ia hadapi.
Di rumah, ia menulis di jurnalnya:
“Setiap kenangan yang kita buat malam ini adalah cara kita menyiapkan diri untuk kehilangan besok.”