Hari itu akhirnya tiba. Pagi di bandara dipenuhi suara pengumuman dan langkah kaki yang tergesa, tapi bagi Raka, dunia terasa melambat.
Aluna berdiri di depannya, jaket krem di lengannya, koper di sisi kaki. Matanya berusaha tersenyum, tapi ada semburat sedih yang tak bisa disembunyikan.
“Aku masih tidak percaya hari ini benar-benar datang,” katanya pelan.
Raka mengangguk, mencoba menahan gejolak di dadanya.
“Aku juga.”
Hening sejenak di antara mereka. Orang-orang berlalu-lalang, tapi di mata Raka hanya ada Aluna. Ia ingin mengatakan banyak hal—meminta waktu sedikit lebih lama, memohon agar Aluna tidak pergi—tapi kata-kata itu tertelan di tenggorokannya.
“Terima kasih untuk semuanya, Raka,” ujar Aluna. “Aku akan selalu mengingat ini… mengingat kita.”
Raka tersenyum, senyum yang terasa lebih seperti luka.
“Semoga kamu menemukan semua yang kamu cari di sana.”
Mereka berpelukan singkat, terlalu singkat untuk menampung semua yang tak terucap. Saat Aluna melepaskan pelukan itu dan melangkah pergi, Raka hanya bisa berdiri memandangi punggungnya yang semakin menjauh—sama seperti hari pertama mereka bertemu, hanya kali ini tanpa janji pertemuan berikutnya.
Suara terakhir yang terdengar hanyalah pengumuman keberangkatan dan deru pesawat yang membawa Aluna pergi.
Raka berjalan keluar dari bandara dengan langkah berat. Di langit-langit benaknya, kalimat yang sama terus bergema:
“Kadang mencintai berarti melepaskan, bahkan ketika setiap bagian dari dirimu ingin bertahan.”
Malam itu, di Café Celestia yang kini hanya menyisakan kenangan, Raka duduk sendirian di meja mereka. Ia membuka jurnalnya dan menulis:
“Hari ini aku benar-benar mengerti arti kehilangan.”