Suara lonceng kecil di pintu kaca berbunyi ketika seseorang masuk. Raka mengangkat kepalanya sekilas, kebiasaan refleks setiap kali pintu café terbuka.

Seorang perempuan berdiri di ambang pintu, mengibaskan tetesan hujan dari rambutnya. Jaket krem yang dikenakannya terlihat basah di bagian bahu. Matanya menelusuri ruangan, mencari tempat kosong. Tapi sore ini Café Celestia penuh—jarang terjadi, bahkan bagi Raka.

Pandangan mereka bertemu sepersekian detik. Raka menunduk lagi ke laptopnya, pura-pura sibuk. Tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat perempuan itu berdiri canggung, jelas kebingungan.

Barista menunjuk ke arah meja Raka.

“Hanya ada kursi itu, kalau tidak keberatan berbagi.”

Perempuan itu berjalan ke arahnya. Langkahnya ragu, tapi senyumnya sopan.

“Maaf, meja lain penuh… boleh saya duduk di sini?”

Raka mengangguk cepat.

“Silakan.”

Ia menyingkirkan tas dari kursi seberang, berusaha terlihat santai meski ada sesuatu yang aneh—entah apa—tentang perempuan ini. Bukan sekadar penampilannya yang hangat, tapi semacam rasa akrab yang tak bisa ia tempatkan.

Perempuan itu melepaskan jaketnya, memperlihatkan blus putih sederhana. Dia mengusap layar ponselnya, lalu tersenyum kecil—senyum yang entah kenapa membuat udara di meja itu terasa lebih ringan.

“Hujan benar-benar datang tiba-tiba,” katanya sambil menatap ke luar jendela.
“Iya,” jawab Raka singkat.

Hening yang mengikuti terasa anehnya nyaman. Raka jarang merasa seperti ini bersama orang asing.

“Saya Aluna,” katanya kemudian, mengulurkan tangan melintasi meja.

Raka menjabat tangannya.

“Raka.”

Nama itu bergema di kepalanya beberapa saat, seolah punya bobot sendiri.

Hujan di luar semakin deras. Raka tahu seharusnya ia kembali menulis, tapi entah kenapa jemarinya tak mau menyentuh keyboard. Ada sesuatu pada gadis di depannya yang membuat dunia di sekitarnya melambat.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa… ada sesuatu yang akan berubah.