Suara riuh rendah food court siang itu jadi latar musik yang monoton: denting sendok-garpu, pesanan yang dipanggil lewat pengeras suara, dan percakapan bersahut-sahutan. Davin duduk di meja favoritnya di sudut, kamera mirrorless tergantung santai di leher, meski ia jarang benar-benar memotret saat jam kerja.

Ia menyesap es tehnya, mata setengah kosong menyapu ruangan. Pemandangan ini sudah jadi keseharian: antrean panjang di depan kios ayam penyet, pegawai yang bergegas menuntaskan makan, dan wajah-wajah lelah yang menanti jam pulang. Tidak ada yang berbeda—sampai matanya berhenti di meja sebelah.

Dia ada di sana.

Seorang perempuan duduk sendiri, ponsel di tangan, bahunya santai seakan dunia di sekitarnya tidak begitu penting. Rambut hitam panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah, tapi cukup untuk melihat kurva tipis di bibirnya—senyum kecil yang muncul entah untuk siapa di layar ponselnya.

Davin menahan napas. Ada sesuatu pada senyum itu—ringan, tulus, dan nyaris tak terduga—yang seketika meretas kebosanan yang selama ini membungkusnya. Senyum itu tidak berlebihan, tidak dibuat-buat, tapi punya efek aneh: seperti seseorang yang menyalakan lampu di ruangan gelap.

Refleks, tangannya bergerak ke kamera. Lensa terangkat, framing otomatis terbentuk. Ia ragu sepersekian detik—memotret orang asing seperti ini selalu meninggalkan rasa bersalah—tapi jemarinya sudah menekan shutter.
Klik.

Ia menunduk cepat, memeriksa hasilnya. Cahaya dari lampu neon food court jatuh lembut di wajahnya. Senyum itu… nyata. Tidak sempurna, mungkin sedikit miring, tapi entah kenapa terasa penuh kehidupan. Davin mengembuskan napas pelan, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Ia menatap kembali ke arah meja sebelah. Perempuan itu tidak menyadari apa pun, masih tenggelam dalam dunianya sendiri, senyum kecilnya perlahan memudar, berganti ekspresi fokus ketika mengetik sesuatu. Tapi bagi Davin, efeknya sudah terpatri: ada percikan kecil di dadanya yang belum ia rasakan selama bertahun-tahun.

Entah kenapa, ia ingin melihat senyum itu lagi. Bukan untuk diposting, bukan untuk portofolio—sekadar untuk dirinya sendiri. Sebuah rahasia kecil di tengah rutinitas yang membosankan.

Ketika perempuan itu berdiri dan pergi, Davin mengikuti gerakannya dengan mata. Ia ingin tahu namanya, ceritanya, apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Tapi yang ia miliki hanyalah foto yang baru saja ia ambil—dan rasa penasaran yang tiba-tiba menjadi candu.

Ia membuka galeri kameranya sekali lagi. Di layar kecil itu, senyuman tersebut bersinar, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar momen biasa.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Davin merasa… terjaga.