Selesai festival, seluruh tim berkumpul di studio komunitas untuk meninjau hasil foto. Proyektor memancarkan ratusan gambar ke layar besar, satu per satu momen terbaik festival terpampang untuk dinilai. Nadya duduk hanya beberapa kursi dari Davin, sesekali memberi komentar tentang angle dan komposisi.

Di tengah suasana santai itu, Rafi tiba-tiba berdiri sambil menghubungkan hard drive cadangan ke laptop komunitas.
“Gue ambil beberapa backup dari drive lama, takutnya ada foto yang kelewat,” katanya santai. “Ini ada satu folder—‘Smile’, ya? Kayaknya punya Davin.”

Davin membeku di tempat. Napasnya tercekat. Di layar proyektor, folder Smile muncul dengan ikon penuh foto-foto lama Nadya—potret-potret diam-diam yang selama ini ia jaga mati-matian.

“Eh, itu apaan, Vin?” salah satu anggota bertanya, penasaran.

Davin buru-buru berdiri. “Nggak perlu dibuka!” katanya terlalu cepat, membuat semua orang menoleh. Nadya menatapnya dengan dahi sedikit berkerut, matanya menajam.

Rafi mengangkat alis. “Santai aja, bro, cuma pengen cek kalau ada foto yang bisa dipakai—”

“Gue bilang nggak usah!” suara Davin terdengar lebih keras dari yang ia maksud. Ruangan langsung hening.

Ketua komunitas menengahi, “Oke, oke, kita fokus ke hasil festival aja dulu. Folder itu nggak penting.” Ia memberi isyarat ke Rafi untuk mencabut drive.

Namun kerusakan sudah terjadi. Nadya menatap Davin lama, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu ada ribuan pertanyaan yang tak terucap.

Sepanjang sisa sesi, Davin tidak bisa berkonsentrasi. Ia bisa merasakan pandangan Nadya sesekali jatuh padanya, mencari jawaban yang tidak ia berikan.

Setelah pertemuan bubar, Nadya menghampirinya di luar studio. Suaranya pelan tapi tegas.
“Folder ‘Smile’… itu apa, Vin?”

Davin membuka mulut, tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya. Bagaimana aku bisa menjelaskan?

Nadya menatapnya lebih dalam, sorot matanya campuran kekecewaan dan rasa ingin tahu. “Ini ada hubungannya sama foto yang viral itu, kan?”

Davin hanya bisa menunduk. “Aku… aku bisa jelasin. Tapi nggak di sini.”

Nadya menghela napas, jelas kecewa. “Aku harap kamu beneran siap jujur, Vin. Karena kalau nggak… aku nggak tahu apa aku bisa tetap ada di sekitarmu.”

Lalu ia berbalik, meninggalkan Davin berdiri sendiri di trotoar, tenggelam dalam kebisuan malam.

Davin tahu saatnya sudah hampir tiba—ia harus memutuskan: terus bersembunyi di balik rahasianya, atau akhirnya membuka semua yang selama ini ia pendam.