Hari-hari setelah Aluna pergi terasa seperti lorong panjang yang sunyi. Raka masih menjalani rutinitasnya—kantor, laptop, dan kopi sore di Café Celestia—tetapi semua itu kehilangan makna. Meja pojok yang dulu penuh tawa kini hanya menjadi tempat ia menatap kosong ke luar jendela.
Pesan-pesan dari Aluna masih ada, tapi semakin jarang. Waktu dan jarak di antara mereka terasa semakin melebar. Setiap notifikasi yang muncul membuat jantung Raka berdebar, tapi lebih sering dari tidak, itu hanya pesan biasa dari dunia yang terus berjalan tanpa Aluna di sisinya.
Malam-malamnya diisi oleh jurnal. Ia menulis lebih banyak dari sebelumnya—tentang hujan, tentang keheningan, tentang bayangan seseorang yang masih tinggal di sudut pikirannya. Tapi di antara kata-kata itu, perlahan muncul sesuatu yang baru: penerimaan.
“Aku tidak bisa lagi memegangmu, tapi aku bisa menyimpanmu di sini,” tulisnya suatu malam, menekan dadanya sendiri.
Di minggu-minggu berikutnya, Raka mulai menemukan ritme baru. Ia menulis bukan hanya untuk mengisi kekosongan, tapi untuk menemukan kembali bagian dirinya yang hilang. Karya-karyanya mulai mendapat perhatian kecil di dunia maya, sesuatu yang dulu tidak pernah ia bayangkan.
Namun, setiap kali hujan turun, pikirannya kembali ke sore-sore di Celestia—saat dunia hanya terdiri dari dirinya dan Aluna. Ada rindu yang tidak lagi menyakitkan, tapi meninggalkan bekas yang tidak akan hilang.
Suatu malam, saat menutup jurnalnya, Raka tersenyum samar.
“Mungkin ini artinya aku tidak kehilanganmu sepenuhnya. Kamu tetap hidup di setiap cerita yang kutulis.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Aluna, Raka merasa bisa bernapas tanpa beban.