Musim hujan perlahan berganti. Langit kota mulai sering berwarna biru cerah, dan Raka menyadari bahwa sesuatu di dalam dirinya pun ikut berubah.
Ia masih sesekali mengunjungi Café Celestia, tapi tidak lagi untuk menunggu. Kini ia datang untuk menulis—meja di pojok jendela telah menjadi ruangnya sendiri, bukan sekadar tempat menyimpan kenangan.
Tulisan-tulisannya semakin banyak dibaca orang. Sebuah penerbit kecil bahkan menawarinya untuk menerbitkan kumpulan cerita. Saat ia menandatangani kontrak itu, Raka teringat kata-kata Aluna:
“Setiap orang punya caranya sendiri untuk kembali merasa hidup.”
Dan ia sadar, menulis adalah caranya.
Meski begitu, bayangan Aluna tidak pernah benar-benar hilang. Setiap hujan yang turun, setiap senja yang ia lihat, selalu membawa sekelebat wajahnya. Tapi rasa sakit yang dulu menghimpit dada kini berganti dengan kehangatan samar, seperti senyum yang tinggal di ujung ingatan.
“Aku harap kamu bahagia di sana,” bisiknya.
Untuk pertama kalinya, Raka merasa langkahnya ringan saat meninggalkan tempat itu. Jalan di depannya mungkin panjang dan tak pasti, tapi ia tahu ke mana ia ingin melangkah—dan yang lebih penting, ia tahu siapa dirinya sekarang.
Di jurnalnya malam itu, ia menulis:
“Aku tidak lagi berjalan untuk mencari, tapi untuk menjalani. Dan mungkin itu sudah cukup.”