Malam itu, Davin menatap layar laptopnya yang menampilkan folder “Smile”. Puluhan foto Nadya terpampang di sana—potret-potret senyum yang selama ini menjadi candu sekaligus rahasia terbesar dalam hidupnya. Besok ia akan menemui Nadya untuk menjelaskan semuanya, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa takut kehilangan.

Keesokan sore, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang. Nadya duduk di seberang, wajahnya datar namun sorot matanya menyiratkan badai pertanyaan.
“Aku pengin dengar semuanya, Vin,” katanya tanpa basa-basi.

Davin menarik napas panjang, lalu membuka laptopnya dan memperlihatkan folder itu. “Ini… semua foto yang aku ambil. Dari pertama kali aku lihat kamu di food court sampai sekarang.”

Satu per satu foto berganti di layar: potret Nadya sedang membaca menu, tersenyum ke layar ponselnya, atau sekadar menatap kosong ke kejauhan. Nadya terdiam, matanya bergerak dari satu foto ke foto lain, ekspresinya sulit ditebak.

“Aku tahu ini salah,” Davin mulai bicara, suaranya pelan tapi tegas. “Awalnya aku cuma… orang biasa yang kebetulan melihatmu. Senyummu… entah kenapa bisa bikin hariku yang kacau jadi lebih ringan. Aku mulai motret, bukan buat orang lain, tapi buat diriku sendiri—semacam pengingat kalau dunia ini nggak sepenuhnya gelap.”

Nadya mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. “Dan kamu pikir itu cukup buat motret orang diam-diam? Menyimpan foto-foto ini bertahun-tahun?”

“Aku salah, iya,” Davin mengaku. “Aku pengecut. Aku lebih memilih lensa kamera buat ‘dekat’ sama kamu daripada benar-benar mengenalmu. Sampai akhirnya aku gabung komunitas ini, dan… aku mulai kenal kamu sebagai Nadya, bukan cuma ‘senyum di layar laptop’.”

Ada jeda panjang. Nadya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap foto terakhir di layar—potret dirinya di festival, dengan senyum lebar yang tulus.
“Jadi, semua ini… buat apa sekarang?”

Davin menelan ludah. “Buat aku, ini perjalanan. Dari seseorang yang cuma berani mengagumimu diam-diam, sampai akhirnya berani ada di sini, jujur di depanmu. Aku nggak mau lagi sembunyi di balik foto-foto itu.”

Nadya menutup laptop dengan perlahan. “Aku… butuh waktu, Vin. Semua ini terlalu banyak buat aku cerna. Aku nggak marah, tapi aku nggak tahu apakah aku bisa nerima sepenuhnya.”

Davin mengangguk, meskipun dadanya sesak. “Aku ngerti. Aku cuma pengen kamu tahu… semua ini nyata. Bukan obsesi yang kosong.”

Nadya berdiri, mengambil tasnya. “Aku nggak janji apa-apa. Tapi… kita lihat aja nanti, ya.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Davin sendirian di kafe, dengan folder Smile yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya—bukan lagi sebagai rahasia, tapi sebagai bukti dari semua yang telah ia akui.