Sore itu Raka baru saja pulang dari kantor ketika sebuah notifikasi baru muncul di ponselnya. Bukan pesan singkat atau email biasa, tapi surat elektronik panjang dari Aluna—nama yang sudah lama tidak ia lihat di layar.

Dengan jantung berdebar, ia membacanya pelan.

Raka,

Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku sering memikirkan kita, tentang sore-sore di Celestia, tentang tawa dan percakapan yang seolah tak ada habisnya. Hidupku di sini berjalan cepat, penuh warna, tapi kadang terasa sepi.

Aku ingin kamu tahu bahwa keputusanku pergi bukan berarti aku meninggalkan semua yang kita punya. Aku hanya mengejar bagian lain dari diriku yang harus kucari. Dan setiap kali aku melukis atau mengajar, aku ingat kata-kata yang pernah kamu ucapkan—bahwa setiap orang punya caranya sendiri untuk merasa hidup.

Terima kasih karena sudah menjadi bagian dari itu. Kamu mungkin tidak tahu, tapi aku membawa banyak bagian dari kita ke sini.

-Aluna

Raka menutup ponselnya perlahan. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya—bukan rindu yang menyakitkan, tapi semacam ketenangan yang selama ini ia cari.

Malam itu ia kembali ke Café Celestia, duduk di meja mereka dengan secangkir kopi. Ia membuka jurnalnya dan menulis:

“Beberapa jarak tidak untuk dihapus, tapi untuk diisi dengan doa dan kenangan yang tidak akan pudar.”

Untuk pertama kalinya sejak kepergian Aluna, Raka merasa benar-benar berdamai dengan jarak yang memisahkan mereka. Surat itu bukan janji untuk kembali, tapi pengingat bahwa apa yang mereka miliki tidak pernah benar-benar hilang.