Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di antara dua dunia.

Di satu sisi, Davin kini mengenal Nadya lebih dekat daripada yang pernah ia bayangkan. Mereka berbicara lebih banyak, bahkan sesekali bercanda ringan seperti teman lama. Tapi di sisi lain, ada masa lalunya yang terus menghantuinya—puluhan foto yang pernah ia ambil diam-diam, dan rasa candu yang belum sepenuhnya hilang.

Setiap kali Nadya tersenyum kepadanya secara langsung, Davin merasakan kebahagiaan yang berbeda—hangat, namun sekaligus menyakitkan. Dulu aku senang hanya dengan melihat senyumnya di layar… kenapa sekarang malah terasa lebih sulit? pikirnya suatu malam.

Di komunitas, mereka sedang mempersiapkan proyek pameran foto berikutnya. Ketua komunitas mengumumkan bahwa setiap anggota bebas memilih tema pribadi. Nadya mendekati Davin setelah rapat selesai.
“Kamu udah kepikiran tema apa buat pameran?” tanyanya.

Davin menggeleng. “Belum. Kamu?”

“Aku pengin bikin tema tentang perspektif baru. Kayak… gimana kita lihat sesuatu dengan mata yang berbeda setelah tahu cerita di baliknya,” jawab Nadya, menatapnya lama seakan kata-kata itu punya makna lebih.

Davin hanya bisa mengangguk, merasa seolah kata-kata itu ditujukan langsung padanya.

Malamnya, Davin kembali membuka folder “Smile”. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar mempertanyakan apakah foto-foto itu masih layak disimpan. Mereka adalah dunia lamanya, dunia di mana Nadya adalah seseorang yang ia kagumi dari jauh—bukan Nadya yang sekarang, yang berbicara padanya, menatap matanya, bahkan mempercayainya sedikit demi sedikit.

Reza, sahabatnya, menelpon malam itu. “Vin, lu kelihatan bimbang banget akhir-akhir ini. Lu harus tentuin, lu mau terus jadi cowok yang hidup di masa lalu, atau maju ke depan.”

Davin mematikan laptop dan bersandar di kursinya. Di dalam dirinya, ada tarik-menarik antara pengagum rahasia yang dulu dan pria yang sekarang berdiri di hadapan Nadya.

Ia tahu ia tidak bisa selamanya hidup di dua dunia itu. Cepat atau lambat, ia harus memilih—melepas masa lalu yang pernah memberinya kenyamanan, atau menghadapi kenyataan yang penuh ketidakpastian.