Pagi itu, Raka melangkah keluar dari apartemennya dengan perasaan yang belum lama ini asing baginya: ringan. Tidak ada lagi bayang-bayang kehilangan yang mengikuti setiap langkahnya.

Ia berjalan menuju Café Celestia, bukan untuk menunggu, bukan pula untuk mengenang—tetapi untuk memulai hari barunya. Meja di pojok jendela kini sepenuhnya menjadi miliknya, tempat di mana ia menulis bukan tentang kehilangan, tetapi tentang perjalanan.

Kumpulan cerpennya baru saja diterbitkan. Di acara peluncurannya, seseorang bertanya, “Apakah semua cerita ini berdasarkan pengalaman nyata?” Raka hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. Dalam hati ia tahu, setiap kata lahir dari perjalanan panjang yang membentuk dirinya hingga hari ini.

Di luar café, hujan mulai turun ringan. Raka menatap butiran air di kaca, dan untuk pertama kalinya tidak ada rasa sesak di dadanya. Aluna masih hadir di setiap ingatan, tapi tidak lagi sebagai bayangan yang membayangi langkahnya. Ia adalah bagian dari lanskap hatinya—tetap ada, namun tidak menghalangi pandangan ke depan.

Raka menutup laptopnya, menghirup kopi yang mulai mendingin, lalu berdiri.
Ia berjalan keluar ke bawah hujan tanpa payung, membiarkan dinginnya membasuh wajahnya. Ada senyum kecil di bibirnya.

“Mungkin inilah artinya merelakan: berjalan ke depan tanpa kehilangan bagian dari dirimu sendiri.”

Langkah-langkahnya kini bebas, tanpa bayangan yang membebani. Dunia di hadapannya luas, dan untuk pertama kalinya, Raka benar-benar siap menjalaninya.