Musim berganti. Beberapa bulan telah berlalu sejak Davin menutup bab rahasianya. Kini, ia dan Nadya semakin sering bekerja sama, baik dalam proyek komunitas maupun di luar itu.
Davin menghampiri, berdiri di sampingnya. “Kamu makin jago aja. Dulu kamu sering ragu buat motret orang, sekarang malah paling pede,” ujarnya sambil tersenyum.
Nadya tersenyum balik. “Aku belajar dari kamu. Dulu aku cuma lihat dunia lewat mata sendiri, sekarang aku belajar lihat lewat lensa orang lain juga.”
Kata-katanya membuat Davin terdiam sesaat. Dulu aku juga begitu, pikirnya. Mengaguminya hanya dari balik lensa. Sekarang aku berdiri di sampingnya.
Davin tersenyum kecil. “Aku sadar. Kayaknya… kita mulai ngerti satu sama lain.”
Nadya mencondongkan tubuhnya sedikit. “Aku dulu nggak ngerti kenapa kamu nyimpen semua foto itu. Sekarang, mungkin aku mulai ngerti: kamu nggak cuma lihat aku, tapi juga ngerasain sesuatu yang bahkan aku nggak sadar aku punya.”
Davin menunduk, pipinya memanas. “Aku seneng kamu bisa ngerti. Tapi aku nggak mau kamu cuma jadi ‘objek foto’ lagi. Aku mau kamu ada di hidupku… lebih dari itu.”
Nadya tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar, lalu berkata pelan, “Kita lihat aja ke mana ini berjalan, ya?”
Momen itu sederhana, tapi bagi Davin, terasa seperti dua dunia yang dulu terpisah—dunia pengagumnya dan dunia nyata Nadya—perlahan mulai menyatu.