Hening itu bertahan lebih lama dari yang biasanya bisa ditoleransi dua orang asing di satu meja. Raka memainkan sendok kecil di samping cangkirnya, sementara Aluna menatap layar ponselnya tanpa benar-benar membaca apa pun.
“Kamu sering ke sini?” tanyanya tiba-tiba, memecah diam.
Raka sedikit terkejut tapi lega ada percakapan.
“Lumayan. Café ini... semacam tempat pelarian dari kantor.”
Aluna tersenyum samar.
“Sepertinya saya beruntung. Baru pertama kali ke sini, tapi sudah penuh. Kalau tidak ada kursi kosong ini, mungkin saya masih terjebak di luar.”
“Hujan juga,” kata Raka sambil melirik ke luar. “Café ini memang jadi tempat persembunyian orang-orang dari hujan mendadak.”
Aluna terkekeh pelan. Tawa itu ringan, seperti gema dari sesuatu yang sudah lama dikenalnya, membuat Raka merasakan deja vu yang sulit dijelaskan.
Obrolan pun mengalir perlahan—tentang kopi, buku di rak pajangan café, bahkan musik instrumental yang sedang diputar. Aluna bercerita kalau ia menyukai lagu-lagu dengan sentuhan jazz, lalu bertanya:
“Kamu suka menulis? Aku lihat laptopmu penuh dengan catatan.”
Raka mengangguk canggung.
“Lebih ke... jurnal pribadi. Cuma catatan harian, hal-hal yang ingin aku pahami.”
“Pasti menarik kalau ditulis dengan jujur,” kata Aluna, matanya memancarkan ketertarikan tulus. “Kadang tulisan bisa menjadi cermin yang lebih jujur daripada kita sendiri.”
Kalimat itu menancap di kepala Raka. Ada kehangatan dan sedikit ironi di dalamnya—seperti seseorang yang mengerti tanpa harus menjelaskan banyak.
Hujan di luar belum reda. Waktu terasa melambat di sekitar mereka, seolah café ini jadi ruang terpisah dari dunia luar.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Raka merasa percakapan dengan orang asing tidak melelahkan. Ada sesuatu pada cara Aluna berbicara—tenang, lugas, tapi dengan kedalaman yang jarang ia temui.
“Sepertinya hujan belum berniat berhenti,” kata Aluna sambil menyeruput minumannya.
“Aku tidak keberatan,” jawab Raka, hampir tanpa sadar.
Aluna tersenyum tipis, dan Raka menyadari senyum itu membuat sesuatu di dalam dirinya bergerak. Bukan sekadar ketertarikan—lebih seperti rasa yang tidak asing, yang entah dari mana datangnya.
Dan untuk sesaat, dunia di luar café benar-benar menghilang.