Hujan turun semakin deras, memukul atap seng dan jendela Café Celestia dengan ritme yang konsisten, seperti musik latar yang tak pernah diminta namun entah kenapa pas. Lampu-lampu gantung berwarna kuning lembut menciptakan lingkaran cahaya hangat di sekitar meja mereka.

Aluna menaruh ponselnya ke samping, seolah menyerah pada keadaan.

“Sepertinya kita akan terjebak di sini untuk sementara,” katanya, nada suaranya datar tapi tidak keberatan.

Raka hanya mengangguk, jemarinya memainkan pinggiran cangkir.

“Tidak masalah. Café ini memang tempat terbaik untuk terjebak.”

Aluna menatapnya, sedikit heran, lalu tersenyum.

“Kamu terdengar seperti orang yang sudah lama tinggal di sini.”

“Mungkin karena di luar sana tidak ada banyak tempat yang benar-benar membuatku merasa... ada,” jawab Raka, hampir tanpa sadar.

Aluna terdiam sejenak, matanya meneliti wajahnya dengan rasa ingin tahu.

“Lucu ya, kadang kita butuh tempat untuk merasa ada. Aku juga begitu, walaupun lebih sering berpindah-pindah.”

Percakapan mereka merambat ke hal-hal yang lebih pribadi:

  • Aluna bercerita tentang kesukaannya mengajar kelas seni kecil-kecilan.

  • Raka, dengan ragu, menceritakan sedikit tentang rutinitas kantornya yang monoton dan hobinya menulis jurnal untuk tetap “waras”.

Tidak ada tekanan untuk membuka diri, tapi setiap kalimat terasa seperti undangan untuk melangkah sedikit lebih jauh.

Aluna menatap hujan di luar, cahaya lampu membuat wajahnya tampak lembut.

“Aku suka hujan. Rasanya seperti waktu ikut melambat, memberi kita ruang untuk berpikir.”

Raka ikut memandang ke luar jendela. Untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa detik-detik di sini terasa berbeda. Ia bisa mendengar detak jam dinding, hiruk pikuk percakapan pengunjung lain, bahkan bunyi sendok di cangkir Aluna—semua seakan bergerak dalam tempo yang lebih lambat.

Dan di antara semua itu, ada ketenangan yang asing tapi familiar.

“Mungkin kita memang butuh hujan sekali-sekali, supaya bisa berhenti sejenak,” gumam Raka.

Aluna menoleh, menatapnya sambil tersenyum tipis.

“Mungkin, atau supaya kita bisa bertemu orang yang tepat di waktu yang salah.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membekas di benak Raka. Ia tidak tahu apa yang membuatnya ingin terus mendengar suara itu, tapi ia sadar satu hal: waktu di café ini terasa seperti milik mereka berdua.