Sejak siang itu, rutinitas Davin diam-diam berubah. Jam makan siangnya menjadi lebih teratur, hampir selalu pukul dua belas tepat, waktu yang sebelumnya jarang ia pedulikan. Kini, ada alasan yang membuatnya berdiri lebih cepat dari biasanya dan berjalan ke food court dengan langkah sedikit lebih ringan.
Hari pertama setelah “penemuan” itu, ia tiba lebih awal dan memilih meja yang sama di sudut. Matanya menyapu ruangan, setengah gugup mencari sosok yang kemarin tersenyum sendirian. Beberapa menit pertama hanya diisi suara sendok dan obrolan kantor. Davin mulai ragu, sampai akhirnya ia melihatnya—duduk di meja yang sama seperti kemarin, ponsel di tangannya, dengan ekspresi santai yang familiar.
Davin merasakan dentuman kecil di dadanya. Ia berpura-pura sibuk membuka menu di ponsel, tapi sebenarnya hanya mencuri pandang ke arahnya. Saat senyum itu muncul lagi, seperti kilatan singkat yang membelah kebisingan food court, Davin refleks mengangkat kamera. Klik.
Foto baru. Ia memeriksanya cepat—masih sama, senyum itu tetap punya efek yang sama, seolah-olah menghidupkan sesuatu di dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya, Davin mulai menjadikan food court sebagai “ritual”. Ia tidak selalu mendapat momen sempurna—kadang perempuan itu tidak tersenyum, kadang ia sibuk menerima panggilan telepon—tetapi setiap kali senyum itu muncul, meski sebentar, Davin merasakan candu yang sama.
Folder di laptopnya bertambah: Smile_02, Smile_03, Smile_04. Setiap foto jadi semacam potongan cerita yang hanya ia miliki.
Setiap kali jam makan siang tiba, ada ekspektasi yang menggantung di dada Davin: apakah hari ini ia akan melihat senyum itu lagi? Tanpa ia sadari, kebiasaan baru ini telah menjadi candu—kecil tapi cukup untuk membuat hari-harinya terasa berbeda.
Malam itu, ia memindahkan foto terbaru ke laptop. Folder “Smile” kini berisi enam file, masing-masing dengan cerita kecilnya sendiri. Davin menyandarkan punggung ke kursi, membuka foto-foto itu satu per satu, dan merasakan sesuatu yang sulit ia namakan: sebuah dorongan untuk terus melihat, lagi dan lagi, seolah setiap foto memberinya alasan untuk bertahan.