Hari-hari berikutnya, kebiasaan Davin semakin melekat. Jam makan siang menjadi momen yang ia tunggu-tunggu, bukan karena lapar, tetapi karena harapan melihat senyum itu lagi. Di sela kesibukan kantor, pikirannya sering melayang ke meja sebelah di food court—tempat ia bisa mencuri satu-dua foto untuk menambah koleksi galeri rahasianya.

Suatu siang, kesempatan itu hampir datang.

Nadya—meski Davin belum tahu namanya—sedang berdiri di depan kios minuman, tampak kebingungan memilih antara dua menu. Davin yang baru datang berdiri di belakangnya, jarak mereka tidak lebih dari satu langkah. Jantungnya berdebar, kesempatan ini terlalu dekat untuk diabaikan.

Bilang aja satu kalimat, batinnya. “Mau pesan yang mana?” atau “Saya rekomendasi ini.” Apa pun…

Namun, suara tercekat di tenggorokannya. Nadya akhirnya memutuskan sendiri, memesan jus jeruk, lalu tersenyum kecil kepada kasir. Senyum yang sama itu menusuk dada Davin, sekaligus menegaskan kegagalannya lagi.

Di meja makan, Davin mencoba menyemangati dirinya. Mungkin nanti ada kesempatan lain. Benar saja, beberapa hari kemudian, ia lagi-lagi duduk berdekatan. Nadya menjatuhkan tutup botol minumnya; benda itu menggelinding hingga kaki Davin. Ia membungkuk cepat, mengambilnya, lalu mengulurkan tangan.

“Ini…” kata Davin, suaranya lebih pelan dari yang ia maksudkan. Nadya mengangkat wajah, mata mereka bertemu sepersekian detik.

“Oh, makasih,” jawabnya sambil tersenyum singkat.

Davin membeku. Itu momen sempurna untuk melanjutkan percakapan—menanyakan namanya, mungkin—tetapi lidahnya seolah terkunci. Nadya sudah kembali sibuk dengan makanannya, sementara Davin masih terjebak antara rasa puas dan frustasi.

Di kantor, Reza menangkap Davin yang melamun sambil tersenyum tipis.
“Bro, kalo suka sama orang tuh… ya tinggal sapa. Jangan kayak nunggu undangan resmi,” celetuk Reza.
Davin hanya menggeleng, malu mengakui betapa sulitnya sekadar mengucap “hai.”

Malamnya, di depan laptop, Davin membuka folder “Smile” yang kini berisi dua puluh foto. Ia menatap lama salah satu foto terbaru—saat Nadya tersenyum kepada kasir. Dekat sekali tadi… kenapa nggak bisa? pikirnya.

Kegagalan itu menempel seperti rasa pahit di ujung lidah. Anehnya, alih-alih menyurutkan keinginannya, ia malah semakin ingin mencoba lagi. Candunya semakin kuat, dan Davin mulai menyadari: ia tidak hanya mengagumi senyum itu. Ia ingin menjadi alasan di balik senyum itu.