Hari-hari Raka mulai punya ritme baru. Di sela rutinitas yang monoton, ada jeda-jeda singkat yang ia nantikan—percakapan dengan Aluna, notifikasi pesan di ponselnya, dan pertemuan-pertemuan di Café Celestia.

Sore itu, Aluna mengajaknya keluar dari kebiasaan mereka.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” tulisnya.
“Ke mana?”
“Datang saja ke Celestia. Aku jemput.”

Raka menunggu di meja biasa. Ketika Aluna datang, ia terlihat berbeda—lebih santai dengan sweater abu-abu dan rambut terikat sederhana. Ada cahaya antusias di matanya.

“Ayo,” katanya. “Aku janji kamu bakal suka.”

Mereka berjalan menyusuri gang kecil di belakang café, lalu tiba di sebuah studio seni mungil dengan dinding penuh lukisan dan aroma cat minyak.

“Ini dunia kecilku,” kata Aluna, membuka pintu dan menyalakan lampu.

Raka berdiri terpaku. Kanvas-kanvas penuh warna memenuhi ruangan, sebagian masih setengah jadi. Di salah satu sudut ada piano tua, dan di dinding tergantung foto-foto hasil jepretan analog.

“Kamu yang melukis semua ini?” tanya Raka tak percaya.
“Sebagian besar,” jawab Aluna sambil tersenyum. “Tempat ini... semacam rumah kedua. Di sini aku bisa jadi diriku sendiri.”

Raka menyentuh salah satu kanvas yang belum selesai—siluet kota di bawah langit senja, sapuan warnanya penuh energi tapi juga melankolis.

“Aku tidak tahu kamu punya dunia seperti ini.”
“Aku jarang menunjukkannya pada orang lain,” kata Aluna pelan. “Tapi aku rasa kamu bisa mengerti.”

Di momen itu, Raka merasakan dinding tipis di antara mereka mulai runtuh. Ia tak hanya melihat Aluna sebagai sosok yang hangat dan misterius, tapi sebagai seseorang dengan dunia penuh warna yang ingin ia pahami.

Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan satu hal: semakin banyak ia tahu tentang Aluna, semakin ia ingin tahu lebih jauh.