Davin tidak pernah berniat membagikan fotonya. Selama ini, koleksi “Smile” hanya untuk dirinya sendiri—sebuah dunia kecil yang tak seorang pun tahu. Namun malam itu, saat ia membersihkan galeri kamera untuk memori baru, satu foto ikut terkirim ke folder yang ia gunakan untuk cloud backup publik.

Foto itu adalah Smile_17—potret Nadya yang sedang tersenyum lebar, cahaya lampu neon jatuh lembut di wajahnya, mata menyipit penuh kebahagiaan. Foto yang bahkan bagi Davin terasa paling hidup di antara semuanya.

Pagi berikutnya, notifikasi di ponselnya membanjiri layar: likes, comments, shares. Seseorang menemukan foto itu di folder publiknya, membagikannya di media sosial dengan caption:

“The Girl with the Contagious Smile. Siapa pun dia, senyumnya bikin hari saya lebih baik.”

Dalam hitungan jam, foto itu viral. Ratusan komentar mengalir:

  • “Gila, senyumnya bikin adem.”

  • “Kayak senyum yang bisa nyembuhin bad mood.”

  • “Ada yang tahu ini siapa?”

Davin membaca komentar-komentar itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia lega mengetahui orang lain juga merasakan hal yang sama seperti dirinya: kehangatan yang sulit dijelaskan dari senyum Nadya. Di sisi lain, ada kepanikan yang menjalar—foto itu sekarang ada di luar sana, di dunia yang tak bisa ia kendalikan.

Sepanjang hari, ia tidak bisa fokus bekerja. Setiap notifikasi baru membuat perutnya mengeras. Bagaimana kalau dia melihatnya? Bagaimana kalau Nadya tahu aku yang memotret?

Di food court keesokan harinya, Nadya duduk di meja yang sama, tampak sibuk dengan ponselnya. Davin duduk beberapa meja jauhnya, mencoba membaca ekspresinya. Apakah ia tahu? Apakah ia marah? Namun Nadya hanya tersenyum kecil, seperti biasa, sebelum menyimpan ponselnya.

Reza mendatangi meja Davin sambil membawa baki makan siang.
“Bro, lu lihat ini belum?” Reza mengangkat ponselnya, menampilkan foto Nadya yang sedang viral.
Davin pura-pura terkejut. “Oh… iya, gue lihat.”
“Beneran ‘contagious’, ya? Gue sampe ikut senyum liatnya. Siapa sih cewek ini?”

Davin hanya mengangkat bahu, menahan denyut gugup di dadanya. Ia tahu jawabannya—tapi semakin banyak orang yang tahu foto itu, semakin besar rasa bersalah yang menggerogotinya.

Malam itu, ia menatap lama folder “Smile”, menyadari satu hal: rahasia kecilnya tidak sepenuhnya rahasia lagi. Dan untuk pertama kalinya, ia takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum benar-benar ia miliki.