Aku pernah menulis ratusan kali.
Tidak ada satu pun yang pernah kukirim.
Kertas-kertas itu kini terlipat dalam diam, disimpan dalam kotak kayu kecil yang dulu kubeli tanpa niat. Aku tak tahu kenapa aku masih menyimpannya—mungkin karena aku terlalu pengecut untuk menghapus rasa, atau terlalu setia pada luka yang tidak pernah diminta untuk disembuhkan.
Namaku Nara. Dan ini bukan kisah tentang keberanian. Ini adalah kisah tentang diam. Tentang rindu yang tidak pernah bersuara. Tentang cinta yang tumbuh di balik doa, bukan di depan mata.
Aku mengenalnya—atau mungkin hanya mengenang—sebagai Fana. Bukan nama yang ia berikan padaku, tentu saja. Tapi nama yang kugoreskan sendiri, sebagai bentuk penghormatan atas kehadirannya yang rapuh, lembut, dan hanya sebentar. Fana, karena seperti senja yang indah, ia tak pernah tinggal lama.
"Fana, jika kau membaca ini—di kehidupan ini atau yang akan datang—ketahuilah bahwa aku mencintaimu tanpa pernah mengganggu."
Aku tidak pernah menginginkan jawaban. Aku hanya ingin ia tahu—meskipun mungkin tak akan pernah. Bahwa ada seseorang yang setiap malam menyebut namanya dalam sunyi, tidak untuk dimiliki, tapi untuk dijaga dalam doa.
Beberapa orang bilang cinta harus diperjuangkan. Aku tidak menentangnya. Tapi aku juga tahu bahwa tidak semua cinta ingin dimenangkan. Ada cinta yang hanya ingin diberi tempat. Cinta yang tidak datang untuk memulai kisah, tapi untuk menuntun seseorang pulang kepada dirinya sendiri.
Fana adalah arah pulang itu.
Ia hadir seperti sepotong puisi yang ditulis Tuhan saat sedang sendu. Lembut. Hening. Tidak pernah berisik. Bahkan cara ia duduk pun seolah menjaga dunia agar tetap tenang. Aku melihatnya bukan dengan mata, tapi dengan perasaan yang lama terkubur dan tiba-tiba hidup kembali.
Kau tahu rasanya? Ketika seseorang datang dan tidak melakukan apa pun yang luar biasa, namun justru karena itulah ia menjadi luar biasa?
Setiap malam, aku duduk di meja kayu yang sama. Lampu kuning kecil menyala redup. Aku membuka halaman kosong, dan mulai menulis sesuatu yang hanya akan kubaca sendiri. Kadang puisi, kadang cerita, kadang hanya tiga kata: "Aku merindukanmu."
Dan mungkin, dalam hidup ini, itulah caraku mencintai. Bukan dengan tangan yang meraih, tapi dengan hati yang mendoakan dari kejauhan.
"Beberapa cinta tidak untuk disampaikan, tapi untuk disimpan sebagai pelita saat dunia terasa dingin."