Segalanya ada akhirnya, begitu juga cinta diam-diam ini.

Bukan karena rasa itu habis, tapi karena aku sudah cukup berjalan.

Perjalanan mencintaimu, Fana, bukan tentang sampai ke pelukmu,
melainkan tentang sampai ke diriku sendiri.
Aku tak pernah benar-benar pergi darimu—karena nyatanya aku hanya sedang kembali pada siapa diriku sebelum kamu datang.

Sebelum doa-doaku dipenuhi namamu.
Sebelum setiap lagu dan puisi seperti mengandung bayanganmu.
Sebelum semua ini menjadi rumah sementara bagi hatiku yang kehilangan arah.

Kini aku berdiri di ujung jalan, memandang ke belakang dengan tenang.
Bukan dengan luka, bukan dengan air mata—tapi dengan syukur.

Syukur karena kamu pernah menjadi cahaya yang membimbingku pulang.
Bukan pulang padamu,
tapi pulang pada hati yang akhirnya belajar:
bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki.
Bahwa ikhlas bukan berarti berhenti mencinta,
melainkan mencinta tanpa menuntut apa-apa.


"Mungkin aku tidak akan pernah kembali.
Tapi percayalah, cinta yang kutinggalkan tidak pernah ke mana-mana.
Ia tinggal di antara huruf-huruf ini, di baris-baris tak bernama.
Dan bila suatu saat kamu temukan surat ini…
diam sajalah, Fana. Itu sudah cukup bagiku."


Aku akan melanjutkan hidup.
Akan ada hari-hari baru, senja-senja lain, dan orang-orang yang berbeda.
Tapi di satu sudut ruang hatiku, kamu akan tetap tinggal.
Tidak untuk diganggu, tidak untuk dikenang terlalu lama—hanya untuk diakui:
bahwa pernah ada cinta yang tumbuh dalam diam,
dan bahwa aku tidak menyesal menjalaninya.

Mungkin inilah bentuk kepulangan yang paling sunyi.
Tanpa pamit, tanpa tangis, tanpa peluk.
Hanya keheningan, dan satu bisikan lirih dalam hati:

"Terima kasih telah menjadi rumah yang tak pernah kumasuki,
namun selalu kunantikan nyalanya dari kejauhan."