Hari itu biasa saja.

Langit tidak terlalu biru, angin tidak terlalu sejuk. Aku bahkan tidak ingat tanggalnya. Hanya ruangan yang sedikit pengap, suara orang-orang yang berbicara terlalu cepat, dan aku yang duduk agak jauh di sudut ruangan, memperhatikan dunia dengan cara yang tidak banyak orang tahu: diam-diam.

Lalu kau masuk.

Aku tidak menoleh cepat. Tidak seperti dalam film-film, tidak ada musik yang tiba-tiba mengalun, tidak ada waktu yang melambat. Tidak ada apa-apa, selain sepasang langkah tenang yang memasuki ruang yang sebelumnya terasa tak berarti.

Saat itu aku tidak berniat mencintaimu.
Aku bahkan tidak tahu siapa kamu.

Kau hanya seseorang dengan kerudung warna abu senja, mata yang tenang seperti danau yang menyembunyikan badai, dan suara yang tidak lantang namun langsung menembus ke dalam. Ada sesuatu dalam caramu menunduk, dalam caramu menyusun kata-kata, dalam caramu duduk di pojok ruangan sambil membuka buku seolah dunia tidak pernah memaksamu tergesa.

Seseorang mungkin akan menyebut itu sebagai "aura". Aku menyebutnya sebagai tanda. Tanda bahwa dunia sedang mempertemukan sesuatu, entah untuk apa, entah sampai kapan.

Aku hanya melihat. Tidak mencoba mendekat, tidak ingin tahu siapa namamu, tidak mencoba mencuri perhatian. Karena ada semacam ketenangan dalam tidak memiliki harapan. Dan mungkin, sejak awal, aku hanya ingin mengingatmu seperti itu—apa adanya, tanpa gangguan niat.

Lucu ya, bagaimana seseorang bisa menjadi penting dalam hidupmu hanya karena mereka hadir dengan keheningan yang pas?

Kau tidak tersenyum padaku waktu itu. Tapi kau tersenyum pada dunia, dan aku merasa cukup.
Itu aneh. Tapi dalam keanehan itu, aku merasa pulang.

"Fana, aku tidak jatuh cinta saat pertama kali melihatmu. Aku hanya merasa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku benar-benar melihat sesuatu yang tak ingin kulupakan."

Ada orang yang hadir untuk ditunggu. Tapi kau hadir hanya untuk dilihat sesaat, dan anehnya... sesaat itu menjadi cukup untuk membangun dunia kecil di dalam diriku.

Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil:
Nada suaramu saat mengucapkan "terima kasih", caramu menulis dengan ujung pena yang stabil, atau bagaimana kau diam selama diskusi dan hanya bicara jika perlu.
Kau bukan cahaya yang silau—kau adalah api lilin yang nyalanya rendah tapi hangat. Dan justru karena itulah, kau masuk ke dalamku tanpa suara, seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan.

Hari itu biasa saja. Tapi setelah kau datang, hari-hari lain menjadi tidak biasa.

Dan sejak itu, aku mulai mencatat. Bukan mencatatmu, tapi mencatat diriku sendiri yang perlahan berubah. Aku mulai lebih hening. Lebih sabar. Lebih bersyukur. Kau tidak tahu apa-apa tentang itu, dan aku tidak pernah bermaksud membuatmu tahu.

Aku tidak berniat mencintaimu.
Tapi cinta bukan soal niat, bukan?


"Beberapa perasaan tidak tumbuh karena direncanakan. Ia tumbuh seperti bunga liar di sela batu: diam-diam, tak terduga, dan tak bisa dicabut begitu saja."