Aku tak pernah benar-benar menyapamu.

Bahkan namamu—yang sebenarnya—belum pernah benar-benar kusebut dalam suara. Tapi dalam diam, aku selalu menyapamu… lewat cara yang hanya Tuhan yang tahu: doa.

Setiap malam, saat dunia menutup mata dan lampu-lampu mulai meredup, aku memandang langit-langit kamarku dan menyebut satu nama. Bukan nama panjangmu, bukan nama panggilanmu, bukan nama yang dikenal orang-orang—tapi nama yang hanya ada di antara aku, jiwaku, dan Tuhan: Fana.

Itu bukan ritual. Itu lebih seperti kebiasaan yang muncul entah sejak kapan. Awalnya hanya sekadar, lalu menjadi perenungan, dan lambat laun menjadi pengakuan—bahwa ada seseorang di hidupku yang tak pernah kusapa, tapi selalu kusebut dalam diam.

"Fana, tahukah kau? Dalam setiap sujudku, ada ruang kosong kecil di hati yang kusebut dengan namamu."

Aku tak meminta apa-apa dari Tuhan tentangmu. Aku tak pernah berani.
Aku tidak ingin memintamu menjadi bagian dari hidupku, sebab itu akan terdengar seperti sebuah rencana yang terlalu berani untuk seseorang sepertiku.
Yang kulakukan hanyalah menitipkanmu… agar kau baik-baik saja. Agar kau damai dalam tidurmu. Agar langkahmu dilindungi, meski langkah itu tak pernah menuju ke arahku.

Ada ketenangan yang aneh dalam mendoakan seseorang yang tidak tahu ia sedang didoakan.
Aku tak perlu tahu apakah kau bahagia. Tapi aku ingin kau bahagia.
Aku tak perlu bersamamu untuk bisa merasa dekat. Karena setiap kali menyebut namamu dalam hati yang tenang, aku merasa tidak sendiri.

Kadang aku membayangkan: bagaimana jika suatu hari, kau merasa damai tanpa alasan yang jelas? Bagaimana jika tiba-tiba kau merasa hangat, padahal malam sedang hujan deras?
Mungkin itu doaku yang sedang duduk diam di sisimu. Bukan untuk kau sadari, cukup untuk kau rasakan.

“Doa adalah surat yang tidak perlu perangko. Ia tidak ditujukan ke alamat rumahmu, tapi ke tempat yang jauh lebih tinggi. Dan entah bagaimana, aku yakin Tuhan menyampaikannya padamu dalam bentuk cahaya lembut yang tak terlihat.”

Ada malam-malam ketika aku merasa terlalu lelah untuk berharap. Tapi bahkan di saat seperti itu, namamu tetap muncul.
Fana, kau hadir seperti udara—tak terlihat, tapi mengisi ruang di mana-mana.
Kau hadir dalam selipan ayat-ayat yang kubaca pelan, dalam zikir panjang yang tak ada ujungnya, dalam detik-detik sujud terakhir saat dunia seperti berhenti dan hanya tersisa satu percakapan: aku dan Tuhanku.

Dan dalam percakapan itu, kau selalu kusebut.
Tanpa suara. Tanpa harap. Hanya rasa.

Aku sadar, mencintaimu seperti ini bukan hal biasa. Tapi aku juga sadar, aku tidak sedang menjalani cinta yang ingin terlihat oleh dunia. Aku sedang menjalani cinta yang hanya bisa dimengerti oleh langit, oleh malam, dan oleh sisi diriku yang paling sunyi.


"Ada cinta yang tak disampaikan dengan kata, tapi disematkan dalam doa. Dan di antara semua bentuk cinta, mungkin itulah yang paling murni: mencintai tanpa menggenggam, hanya menitipkan."