Aku tak pernah benar-benar menyapamu.
Bahkan namamu—yang sebenarnya—belum pernah benar-benar kusebut dalam suara. Tapi dalam diam, aku selalu menyapamu… lewat cara yang hanya Tuhan yang tahu: doa.
Setiap malam, saat dunia menutup mata dan lampu-lampu mulai meredup, aku memandang langit-langit kamarku dan menyebut satu nama. Bukan nama panjangmu, bukan nama panggilanmu, bukan nama yang dikenal orang-orang—tapi nama yang hanya ada di antara aku, jiwaku, dan Tuhan: Fana.
Itu bukan ritual. Itu lebih seperti kebiasaan yang muncul entah sejak kapan. Awalnya hanya sekadar, lalu menjadi perenungan, dan lambat laun menjadi pengakuan—bahwa ada seseorang di hidupku yang tak pernah kusapa, tapi selalu kusebut dalam diam.
"Fana, tahukah kau? Dalam setiap sujudku, ada ruang kosong kecil di hati yang kusebut dengan namamu."
“Doa adalah surat yang tidak perlu perangko. Ia tidak ditujukan ke alamat rumahmu, tapi ke tempat yang jauh lebih tinggi. Dan entah bagaimana, aku yakin Tuhan menyampaikannya padamu dalam bentuk cahaya lembut yang tak terlihat.”
Aku sadar, mencintaimu seperti ini bukan hal biasa. Tapi aku juga sadar, aku tidak sedang menjalani cinta yang ingin terlihat oleh dunia. Aku sedang menjalani cinta yang hanya bisa dimengerti oleh langit, oleh malam, dan oleh sisi diriku yang paling sunyi.
"Ada cinta yang tak disampaikan dengan kata, tapi disematkan dalam doa. Dan di antara semua bentuk cinta, mungkin itulah yang paling murni: mencintai tanpa menggenggam, hanya menitipkan."