Hari itu langit terlalu biru. Terlalu bersih. Terlalu kosong.

Aku duduk di sudut ruang seperti biasa, menunggumu muncul tanpa berniat terlihat sedang menunggu. Biasanya kau datang tepat waktu, lima menit sebelum kegiatan dimulai, membawa aroma lembut entah dari bunga atau wudhu. Tapi hari itu kau tidak datang.

Lima menit berlalu. Lalu sepuluh. Lalu lima belas.

Aku tahu ini konyol, tapi detik-detik itu terasa seperti hujan yang tidak jadi turun. Langit mendung tapi tak pernah pecah. Aku menatap pintu, lagi dan lagi, seperti seseorang yang kehilangan arah kompas.

Dan saat jam menunjuk angka tiga puluh, aku mengambil pulpen, membuka buku catatanku, dan mulai menulis. Bukan catatan pelajaran, bukan laporan kegiatan. Tapi surat. Untukmu.
Surat yang kutulis bukan karena aku ingin mengirimkannya. Tapi karena aku tak tahu cara lain untuk mengatasi perasaan kehilangan yang bahkan belum sah secara logika.


Untuk Fana, yang tidak datang hari ini.

Aku tidak tahu mengapa kepergianmu hari ini terasa seperti kehilangan yang nyata, padahal kita bahkan tidak pernah berjanji untuk bertemu.

Aku duduk di tempat biasa, memperhatikan pintu yang tidak pernah terbuka untukmu hari ini. Lucu ya? Aku merasa kecewa padahal kau tidak pernah berjanji akan hadir.

Mungkin inilah akibat terlalu terbiasa dengan kehadiran seseorang. Bahkan ketika itu hanya kehadiran yang diam.

Kau tidak berkata apa pun. Aku juga tidak. Tapi dalam diam kita, aku telah membangun kebiasaan kecil—menunggumu, memperhatikanmu, diam-diam merayakan kehadiranmu.

Dan hari ini, saat kau tidak datang, dunia terasa lebih hening daripada biasanya. Lebih lengang. Lebih… kosong.

Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berhak bertanya kau ke mana. Tidak ada ruang di antara kita yang cukup sah untuk dilintasi oleh kekhawatiranku. Tapi, tetap saja, aku merasakannya.

Seperti gelombang kecil di dalam dada yang datang tanpa sebab, hanya karena satu hal yang tak terjadi: kehadiranmu.

Dan aku benci harus mengakui ini, tapi… aku merindukanmu. Bukan hanya hari ini. Tapi setiap hari, bahkan saat kau masih duduk tak jauh dariku.

Kau tahu, Fana, kehilangan itu ternyata tidak selalu tentang perpisahan. Kadang ia hanya tentang tidak melihat seseorang di tempat yang biasa, dan menyadari bahwa tempat itu menjadi berbeda karenanya.

Kau tidak tahu bahwa aku menulis ini. Dan aku tidak berniat membuatmu tahu. Karena surat ini bukan untuk menjangkaumu. Surat ini untuk mengingatkan diriku sendiri: bahwa aku ternyata bisa merindukan seseorang tanpa pernah benar-benar memilikinya.

Semoga harimu baik-baik saja, di manapun kau berada hari ini.

Nara


Setelah kutulis surat itu, aku menutup bukuku perlahan, menunduk, dan diam cukup lama.

Dan di saat itu, aku sadar:
Aku tidak hanya menuliskan surat karena kau tidak datang.
Aku menuliskannya karena dengan atau tanpa kehadiranmu, aku telah menjadikanmu bagian dari hariku.
Dan ketika seseorang sudah menjadi bagian dari hari-harimu, ketidakhadirannya berbicara lebih keras daripada semua kata.


"Ada rasa kehilangan yang tidak sah secara hubungan, tapi sah secara perasaan. Dan cinta yang tumbuh dalam diam sering kali lebih mudah terluka oleh hal-hal yang paling sunyi."