Kadang aku merasa semesta punya selera humor yang ganjil.

Bagaimana bisa seseorang yang tak pernah kau sentuh sepenuhnya, begitu dalam tinggal di hatimu?
Bagaimana bisa seseorang yang tak pernah benar-benar kau miliki, justru menjadi sumber air paling jernih yang kau jaga dengan sepenuh hati?

Aku tahu, ini mungkin terdengar konyol bagi siapa pun yang hidupnya logis dan lugas.
Apa gunanya mencintai dalam diam?
Apa untungnya menuliskan surat yang tak pernah dikirim?
Apa artinya menjaga seseorang dalam doa, yang bahkan tidak tahu kau mendoakannya?

Aku tidak tahu.
Dan mungkin memang tidak harus tahu.
Karena cinta seperti ini tidak dibangun untuk dipertanyakan. Ia hanya ada. Seperti pagi yang datang meski kau belum siap bangun. Seperti angin yang menerpa walau tak kau undang.


Suatu hari aku mencoba melupakanmu.

Aku mencoba membuat diriku sibuk, membuka diri pada dunia lain, mencoba berbicara lebih banyak dengan orang lain, berjalan ke tempat-tempat baru. Tapi entah mengapa, semuanya terasa seperti akting yang buruk.
Wajah-wajah yang kutemui hanya membentuk siluetmu dalam versi lain.
Tawa mereka hanya mengingatkanku pada caramu tersenyum.
Dan setiap kali aku hampir berhasil merasa ‘baik-baik saja’, semesta selalu memainkan perannya.

Kau muncul.
Entah dalam bentuk nyata, atau hanya lewat tulisan, foto, atau sesuatu yang kebetulan disebutkan orang lain.
Kadang hanya lewat nama kecilmu yang disebut oleh guru, atau status WhatsApp yang tak sengaja kulihat.
Tapi cukup untuk membuat jantungku kembali mengingat bahwa ada seseorang yang belum bisa kulupakan.

Dan di saat seperti itu, aku hanya bisa tertawa kecil.
Pahit.
Menerima bahwa semesta memang sedang menertawakanku. Tapi entah mengapa, aku tidak marah.

"Karena cinta bukan tentang menang atau kalah. Bukan tentang balasan atau pengakuan.
Tapi tentang bertahan—bahkan saat tak ada apa pun yang bisa dijadikan pegangan."

Aku mungkin tampak bodoh.
Mencintai tanpa disapa.
Merindu tanpa didengar.
Berharap tanpa janji.

Tapi satu hal yang kuyakini:
Aku tidak menyesal.
Sebab mencintaimu diam-diam mengajariku banyak hal—tentang kesabaran, ketulusan, dan bagaimana cara tetap hidup meski hati terus mengalah.

Cinta, pada akhirnya, bukan soal memiliki.
Tapi soal menjadi tempat yang diam-diam mendoakan seseorang, tanpa pernah berharap kembali.

"Semesta boleh menertawakanku, tapi selama cintaku masih tulus dan jiwaku masih tenang, aku akan tetap mencintai. Dalam diam. Dalam doa. Dalam cahaya yang hanya aku tahu arahnya."