Beberapa tahun telah berlalu.
Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan, tapi ia mengajarkan:
bahwa luka bisa tumbuh jadi taman,
dan bahwa kehilangan bisa menjadi arah pulang.

Aku masih menulis, Fana.
Bukan lagi surat-surat diam penuh rindu yang tak tersampaikan,
melainkan catatan tentang hidup—tentang jatuh, bangun, dan berdamai.

Kau mungkin sudah jauh.
Mungkin hidupmu telah dipenuhi nama-nama baru yang tak kukenal.
Mungkin ada tangan lain yang kini menggenggammu saat dingin datang lebih cepat dari biasanya.

Dan aku tidak ingin tahu.
Bukan karena aku tidak peduli,
tapi karena hatiku telah memilih untuk cukup.


"Kau pernah menjadi hening yang kurindukan,
kini kau adalah kenangan yang tak lagi kuulang, tapi tetap kutahu cara menyebut namanya dalam hati."

Malam-malamku kini sunyi dengan cara yang baru.
Tidak lagi dipenuhi bayangmu, tapi juga tidak pernah benar-benar kosong.

Kau meninggalkan ruang di dalamku—bukan lubang, bukan luka.
Tapi seperti jendela kecil yang menghadap ke masa lalu,
di mana aku bisa melihat kembali cahaya lembut yang pernah kutemukan di hadapanmu.


Suatu kali aku duduk sendiri di kafe kecil, membaca buku yang dulu sering aku ingin hadiahkan padamu.
Dan entah kenapa, aku tersenyum.

Mungkin karena akhirnya aku benar-benar paham:
bahwa tidak semua cinta harus menjadi akhir cerita.
Sebagian cukup menjadi bab yang indah,
tempat kita belajar mencintai tanpa memiliki,
mengikhlaskan tanpa membenci,
dan melepaskan tanpa merasa kalah.


Jadi, Fana, ini adalah surat terakhirku.
Yang tak akan pernah kukirimkan.
Karena sebenarnya, surat ini bukan lagi untukmu,
tapi untuk diriku sendiri.

Untuk Nara—yang pernah mencintaimu dalam diam,
dan kini belajar mencintai hidup dengan suara yang utuh.

Terima kasih telah menjadi sunyi yang paling bising dalam hidupku.
Aku sudah selesai mencintaimu.

Dan itu bukan karena cintanya hilang.
Tapi karena akhirnya, aku sudah pulang.


"Ada cinta yang selesai bukan karena mati, tapi karena ia telah cukup."