Pagi selalu datang dengan pola yang sama. Davin menekan tombol snooze tiga kali sebelum akhirnya menyeret tubuhnya dari kasur. Matahari menerobos celah gorden apartemennya yang mungil, menyorot dinding yang dipenuhi foto-foto hasil jepretannya—potret jalanan, wajah-wajah asing, dan langit-langit kota yang berubah warna. Semua foto itu pernah membuatnya bersemangat, tapi akhir-akhir ini hanya terasa seperti koleksi yang tak punya nyawa.

Kopi hitam jadi teman setia. Ia menyesapnya sambil menatap layar ponsel, membolak-balik notifikasi yang tidak menarik: laporan pekerjaan, email kantor, grup WhatsApp yang ramai tanpa arah. Tidak ada yang benar-benar membangunkannya. Rutinitas telah merayap ke dalam hidupnya, merampas rasa penasaran yang dulu membuatnya jatuh cinta pada fotografi.

Di meja makan, kamera mirrorless kesayangannya tergeletak, lensanya mengarah sembarangan. Davin meraihnya sejenak, jari-jarinya secara otomatis memeriksa shutter, lalu ia letakkan kembali. Ada waktu ketika hanya mendengar bunyi klik kamera sudah membuat dadanya hangat. Sekarang, bahkan itu pun tak lagi bekerja.

Jam digital di dinding menyala: 07.45. Waktu untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan kemeja polos, memasukkan kamera ke dalam tas—kebiasaan yang masih bertahan, mungkin karena rasa bersalah meninggalkannya di rumah. Dalam perjalanan, kereta penuh dengan wajah-wajah tanpa ekspresi. Davin duduk di sudut, earphone terpasang, musik mengalun pelan. Tangannya tak sengaja membuka galeri ponsel, melihat foto-foto yang pernah ia ambil: siluet orang asing di halte bus, anak-anak tertawa di taman kota, langit senja yang meleleh di cakrawala. Semuanya terasa… biasa.

Sesampainya di kantor, rutinitas menelannya utuh. Desain-desain untuk presentasi klien menumpuk di layar. Klik, drag, dan save jadi ritme sehari-hari. Tidak ada tantangan, hanya siklus yang harus diselesaikan. Reza, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sempat menyelipkan kepala ke bilik kerja Davin.

“Bro, makan siang bareng nanti?”
“Lihat nanti,” jawab Davin singkat. Reza mengangkat bahu lalu pergi.

Waktu merayap lambat. Saat jam makan siang mendekat, Davin berdiri dan meraih kameranya—refleks, entah untuk apa. Ia keluar kantor, menuju food court gedung perkantoran yang ramai. Lampu neon dan deretan kios makanan sudah tak asing lagi. Langkahnya otomatis memilih meja kosong di sudut.

Ia mengangkat kamera, sekadar memeriksa pengaturan. Mungkin nanti ada momen menarik. Hanya itu yang membuatnya bertahan: berburu potongan kehidupan yang bisa menghidupkan sesuatu di dalam dirinya.

Belum ada yang istimewa hari ini. Hanya kerumunan biasa—orang makan sambil menatap ponsel, beberapa rekan kantor bercakap-cakap. Davin menunduk, mencoba mengabaikan rasa bosan yang menggumpal.

Ia belum tahu bahwa sebentar lagi, semua ini akan berubah—karena sebuah senyuman yang akan menangkapnya tanpa peringatan, seperti cahaya menembus celah yang lama tertutup.