Setiap malam, setelah pekerjaannya selesai dan lampu rumah dipadamkan, ia duduk sendiri di meja kayu dekat jendela. Tangannya mengambil pena, membuka lembaran surat kosong, dan mulai menulis:
“Untuk kamu yang pernah singgah sebentar, tapi tinggal selamanya...”
Surat-surat itu tak pernah dikirim. Hanya disimpan dalam kotak tua berwarna cokelat, terselip rapi di bawah tempat tidurnya. Ia tidak pernah melewatkan satu malam pun tanpa menulis. Bahkan saat demam, bahkan saat matanya terlalu sembap karena menangis.
Sudah lima tahun berlalu sejak kepergian lelaki itu. Pergi tanpa kabar, tanpa alasan, hanya menyisakan satu pesan singkat:
“Maaf, aku harus pergi. Jaga dirimu.”
Ia menunggu selama berbulan-bulan. Mengira akan ada penjelasan. Atau paling tidak, sebuah alasan. Tapi tak pernah datang. Maka ia memilih menulis. Karena menulis adalah satu-satunya cara ia bisa berbicara tanpa berharap jawaban.
Isi surat-surat itu bermacam-macam. Kadang marah. Kadang rindu. Kadang hanya satu kalimat:
“Hari ini aku mencium aroma kopi favoritmu. Rasanya sakit.”
Kadang sangat panjang, seperti curhatan sahabat yang tak bisa ditampung oleh dunia. Dan kadang, hanya kosong, kecuali namanya yang ditulis dengan huruf pelan di pojok kanan atas.
Ia tak pernah tahu apakah lelaki itu membaca. Tapi ia percaya, entah bagaimana, kata-katanya sampai. Lewat angin. Lewat mimpi. Lewat doa-doa yang tidak pernah berhenti ia panjatkan, meski hatinya sudah hancur.
Suatu hari, seorang kurir mengetuk pintu rumahnya. Membawa paket kecil tanpa nama pengirim. Di dalamnya, sebuah buku tua dan satu surat.
Tangannya gemetar saat membukanya.
“Aku tidak pernah berani membaca surat-suratmu waktu itu. Tapi seseorang mengirimkan satu ke alamat kantorku dua bulan lalu. Entah siapa. Mungkin takdir. Aku mencarinya... dan aku menemukan semuanya di tangan ibumu. Ternyata, kotak surat yang kau titipkan padanya dulu... ia simpan.”
“Aku membaca semuanya. Satu per satu. Setiap malam. Sama seperti caramu menulisnya.”
“Aku minta maaf karena memilih diam. Aku pikir, menjauh akan membuatmu melupakan. Tapi ternyata, akulah yang terus hidup dalam tiap kalimatmu.”
“Hari ini, aku beranikan diri mengirim ini. Buku yang dulu pernah kau sebut ingin kau baca bersamaku. Halaman terakhirnya kosong. Mungkin bisa kau isi dengan satu surat lagi. Tapi kali ini... tolong kirimkan. Aku siap membaca.”
Ia menangis sepanjang malam. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya merasa... didengar. Setelah sekian lama.
Surat terakhir yang ia tulis malam itu hanya berisi satu kalimat:
“Terima kasih karena akhirnya membiarkanku pulang.”