Ia duduk di kursi taman rumah sakit, menatap langit abu-abu yang menggantung rendah. Tangannya gemetar memegang sebatang rokok yang belum dinyalakan sejak tadi. Sudah tiga hari ia dirawat karena overdosis obat tidur. Bukan karena ingin mati, katanya pada dokter, tapi karena ingin berhenti merasa.
Dokter hanya mengangguk, seperti sudah terlalu sering mendengar jawaban serupa.
Hari ini adalah hari keempat, dan ia tidak tahu harus memulai dari mana untuk “sembuh.” Dunia terasa terlalu bising. Dirinya terasa terlalu berat untuk diselamatkan.
Lalu datanglah anak kecil itu.
Perempuan. Mungkin lima atau enam tahun. Rambutnya dikuncir dua. Ia membawa balon biru di satu tangan, dan sebungkus biskuit di tangan lain. Tanpa ragu, ia duduk di bangku yang sama, hanya beberapa sentimeter dari lelaki yang masih memegang rokok tak menyala.
“Om kenapa sedih?” tanyanya polos.Ia terdiam.“Aku nggak sedih,” jawabnya akhirnya.“Bohong. Soalnya matanya kayak punya ayahku waktu Mama pergi.”
Ia memandang anak itu lebih lama dari yang ia niatkan. Tatapannya jernih, terlalu jujur untuk anak sekecil itu. Ia ingin bertanya siapa dia, tapi anak itu lebih dulu bicara.
“Namaku Cahaya.”
Selama satu jam berikutnya, Cahaya bercerita tentang mainan favoritnya yang hilang, tentang anjing yang sering datang ke taman, dan tentang ayahnya yang suka menangis diam-diam di kamar rumah sakit.
Lelaki itu hanya mendengar. Kadang mengangguk, kadang tersenyum kecil, kadang merasa hatinya ditarik perlahan dari dalam jurang.
Sebelum pergi, Cahaya menyodorkan bungkus biskuitnya.
“Ambil satu, biar Om nggak kesepian.”“Terima kasih.”“Besok aku ke sini lagi. Jangan pergi dulu ya.”
Keesokan harinya, lelaki itu kembali ke taman. Cahaya juga datang—dengan cerita baru, pertanyaan baru, dan tawa yang selalu muncul dari hal-hal sepele. Hari demi hari, mereka duduk di bangku yang sama. Cahaya mulai membawa krayon dan menggambar bersama.
Sampai pada suatu pagi, ia datang lebih awal. Tapi bangku itu kosong.
Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh. Satu jam. Tapi Cahaya tak datang.
Ia mencoba bertanya pada suster, tapi tak tahu nama lengkapnya. Tak tahu ruang perawatannya. Tak tahu siapa orang tuanya.
Ia hanya tahu satu hal: nama anak itu Cahaya, dan dia datang seperti terang dalam hidupnya yang gelap.
Hari berikutnya, ia kembali. Duduk di bangku yang sama. Kali ini, dengan sekotak krayon di tangannya.
Tak ada yang datang.
Beberapa minggu berlalu. Ia dinyatakan boleh pulang. Dokter bertanya apakah ia merasa lebih baik.
“Saya tidak tahu apakah saya sembuh,” katanya.“Tapi... saya merasa tidak ingin menyerah hari ini.”
Ia keluar dari rumah sakit tanpa membawa banyak hal—hanya jaket tua dan kotak krayon yang belum sempat ia kembalikan.
Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke taman itu. Hanya untuk duduk. Hanya untuk mengenang.
Dan di sudut dekat bangku tempat biasa mereka duduk, terpasang sebuah plakat kecil. Ia membacanya pelan:
“Taman Cahaya: Didedikasikan untuk putri kecil yang selalu membawa senyum bagi siapa pun yang kehilangan arah.”
Air matanya jatuh tanpa suara.
Takdir tidak selalu datang dalam bentuk petir yang menyambar atau pelukan yang erat. Kadang, ia datang dalam bentuk anak kecil dengan balon biru dan krayon warna-warni—membawa sinar ke dalam hidup yang hampir padam.
Namanya Cahaya. Dan ia tidak pernah benar-benar pergi.