Di sudut kota yang tak pernah benar-benar tidur, berdiri sebuah kedai kopi mungil bernama Titik Dua. Buka sejak pukul 6 pagi, kedai itu lebih sering jadi tempat persinggahan singkat orang-orang yang dikejar waktu—karyawan dengan mata bengkak, mahasiswa yang telat bangun, atau mereka yang sekadar butuh pelarian dari sunyi pagi.
Di balik meja bar, berdirilah seorang barista perempuan dengan apron biru tua dan rambut diikat ke belakang. Tak banyak yang tahu namanya, dan ia pun tak berusaha untuk dikenal. Tapi ada satu hal yang membuat setiap pelanggan pulang dengan rasa penasaran: secarik kertas kecil yang ia selipkan di bawah setiap cangkir kopi pesanan.
Isinya bukan kutipan terkenal, bukan motivasi murahan. Hanya kalimat-kalimat sederhana yang ditulis tangan. Terkadang pertanyaan. Terkadang pengingat. Terkadang... terasa seperti bisikan dari semesta.
Pagi itu, seorang lelaki masuk dengan langkah lelah. Matanya sayu, bajunya kusut, dan kakinya menyeret seperti tak tahu ke mana harus pergi. Ia memesan espresso tanpa gula, suara pelannya nyaris kalah oleh mesin giling kopi.
Barista itu menatapnya sejenak. Lalu menyeduh, menuang, dan menyelipkan kertas kecil di bawah cangkir.
Lelaki itu duduk di pojok, membuka laptop yang tak menyala, dan memandangi kosong jendela kaca yang berembun.
Saat ia menyeruput kopi, matanya tertumbuk pada secarik kertas yang terselip di bawah gelas:
“Kalau kau bertahan sejauh ini, mungkin masih ada yang patut diperjuangkan.”
Tangannya gemetar. Ia memejamkan mata, lama sekali. Lalu diam-diam, air matanya jatuh. Tak ada yang memperhatikan, kecuali sang barista dari kejauhan.
Ia meninggalkan uang lebih di meja, tanpa sepatah kata. Tapi keesokan harinya, ia datang lagi.
Hari-hari berikutnya, ia datang setiap pagi. Selalu dengan kopi yang sama, tempat duduk yang sama, dan ekspresi yang perlahan berubah. Dari wajah kosong menjadi raut yang sedang belajar hidup kembali.
Dan setiap pagi, ia mendapat kertas baru.
“Kau boleh berhenti sejenak. Tapi jangan menghilang.”“Kadang, diam juga butuh didengar.”“Selamat sudah melewati semalam.”
Pernah suatu pagi ia datang lebih awal, dan melihat barista itu sedang menulis di selembar kertas kecil, matanya sembab seperti habis menangis.
Saat ia menyapanya, barista itu terkejut, lalu tersenyum samar.
“Kopi pagi ini... untuk siapa?”“Untukmu,” jawabnya.“Dan tulisan itu?”“Mungkin... untuk diriku sendiri.”
Suatu hari, lelaki itu datang dengan senyum. Ia meletakkan sesuatu di atas meja sebelum pergi—sebuah buku tulis berisi catatan harian yang selama ini ia sembunyikan dari dunia. Di halaman terakhir, tertulis:
“Hari aku hampir pergi dari dunia, aku datang ke kedai ini. Dan kamu memberiku kalimat yang membuatku bertahan.”
“Aku tak tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi dalam dunia yang asing ini, kamu membuatku merasa terlihat.”
Barista itu membaca dengan tenang. Di balik apron biru dan dinding kaca, ia tersenyum, lalu menulis satu kalimat lagi.
Keesokan harinya, lelaki itu datang. Di mejanya, telah tersedia kopi seperti biasa. Dan secarik kertas terakhir:
“Kalau kau hidup, aku juga akan terus menulis.”
Kadang, hidup tidak menyelamatkan kita lewat teriakan besar, tapi lewat secangkir kopi dan pesan kecil yang terasa seperti pelukan dari takdir.