Setiap hari Senin, pukul 06.45 pagi, kereta komuter rute barat akan berhenti di peron ke-3 stasiun tua itu. Dan setiap hari Senin, pukul yang sama, seorang lelaki duduk di kursi yang sama, gerbong ketiga dari depan, dekat jendela. Di kursi seberangnya, seorang perempuan dengan ransel biru dan buku catatan kecil, menuliskan sesuatu sepanjang perjalanan.

Mereka tidak saling kenal. Tidak saling menyapa. Hanya diam—dipisahkan jarak satu meja lipat dan ratusan kemungkinan tak terucap.

Namun, pertemuan diam-diam itu telah berlangsung selama delapan bulan.

Lelaki itu, seorang analis data, menghafal cara perempuan itu melipat kaki di kursi, menyelipkan helai rambut ke belakang telinga, dan sesekali menggigit ujung pulpen saat berpikir keras. Perempuan itu, seorang guru paruh waktu, tahu persis jam berapa lelaki itu membuka laptop, mengetik cepat selama 15 menit, lalu menatap kosong ke luar jendela hingga stasiun akhir.

Mereka hidup di dua dunia yang tak bersentuhan, kecuali di antara rel dan logam.


Suatu Senin pagi, dunia mereka terhenti.

Pengumuman berdengung: “Mohon maaf, kereta komuter rute barat mengalami gangguan operasional dan akan mengalami keterlambatan selama 45 menit.”

Penumpang mengeluh. Beberapa bergegas mencari alternatif. Namun sebagian tetap tinggal, termasuk mereka berdua. Dan untuk pertama kalinya, mereka berdiri berdekatan, di bawah atap peron yang berembun.

“Kau juga menunggu?” tanya perempuan itu, lirih.
“Iya. Sepertinya kereta juga butuh istirahat.”

Mereka tertawa kecil. Canggung, tapi tulus. Lalu hening. Tapi bukan hening yang asing—hening yang justru terasa akrab.

“Aku sering melihatmu,” katanya, akhirnya.
“Aku juga. Kau selalu duduk di kursi dekat jendela.”
“Dan kau selalu menulis. Tentang apa?”
“Tentang orang-orang yang tak pernah bicara, tapi saling menunggu.”

Ia terdiam. Mungkin karena kalimat itu terasa terlalu tepat. Atau terlalu jujur.

“Kau percaya pada takdir?” tanyanya kemudian.
“Percaya. Tapi kadang takdir perlu sedikit bantuan.”

Kereta akhirnya datang, terlambat, dan penuh sesak. Mereka berdiri berdempetan di dekat pintu, tubuh bergoyang karena hentakan rel, namun tidak lagi canggung.

Perjalanan itu, yang biasanya sunyi, kini terisi percakapan ringan. Tentang buku favorit. Tentang luka yang disimpan. Tentang seseorang yang pernah mereka tunggu tapi tak kembali.


Saat kereta hampir sampai di stasiun akhir, perempuan itu menatapnya.

“Aku turun di sini. Tapi mungkin, hari Senin depan, kita bisa bertemu lagi. Dengan kopi, bukan kereta.”
“Aku akan duduk di kursi yang sama,” jawabnya.

Ia turun. Ransel birunya bergoyang saat ia berjalan cepat menuju pintu keluar. Ia tak menoleh.

Lelaki itu tetap berdiri, memandangi tempat kosong tempat perempuan itu biasanya duduk. Di atas kursi itu, tergeletak sebuah buku catatan kecil.

Ia mengambilnya. Di halaman pertama, tertulis:

“Untuk seseorang yang tidak pernah bicara, tapi selalu duduk di seberang.”

Namamu tidak kutahu, tapi rasanya aku sudah menulis tentangmu terlalu lama.”


Senin berikutnya, ia datang lebih awal. Duduk di kursi yang sama. Membawa dua kopi hangat dalam gelas karton.

Kereta datang. Tapi kursi seberang tetap kosong.

Satu hari. Dua hari. Tiga minggu.

Perempuan itu tak pernah kembali.


Ia menyimpan buku catatan itu dalam laci mejanya, bersama tiket-tiket kereta yang tak pernah ia buang.

Kadang-kadang, ia membacanya ulang—cerita-cerita kecil tentang hujan, kesunyian, dan seseorang yang hanya hidup di antara peron dan jendela.

Hingga suatu malam, saat pulang kerja, ia naik kereta yang berbeda. Di gerbong keempat, di sudut dekat jendela, seseorang duduk dengan ransel biru dan buku catatan baru.

Mereka saling menatap. Diam.
Lalu tersenyum.

“Aku kembali,” katanya.
“Dan aku masih duduk di sini,” balasnya.


Kadang, takdir datang dalam bentuk keterlambatan.
Dalam jeda yang membuat dua orang akhirnya berbicara.
Dan dalam kereta yang tidak hanya membawa tubuh, tapi juga perasaan yang tak pernah sempat disampaikan.