Hujan turun seperti sedang marah. Langit menghitam, jalanan menyempit oleh genangan, dan deru kendaraan menyatu dengan isak air yang tak kunjung reda. Kota itu asing. Gedung-gedung tua berdiri dengan wajah berlumut, trotoarnya retak, dan daun-daun berserakan seolah baru saja kehilangan musim.

Di sanalah ia berdiri—seorang lelaki kurus dengan jaket denim yang kuyup, memeluk tas selempang yang basah oleh hujan dan kecewa. Sudah setengah jam ia berdiri di bawah atap toko yang tidak ia kenal, memandangi jalan yang tak bisa ia lewati. Bukan karena genangan, tapi karena pikirannya sendiri yang terlalu penuh.

Ia datang ke kota ini untuk mencari jarak dari kehidupannya yang kacau. Tulisan-tulisannya ditolak. Naskahnya dianggap klise. Dan lebih dari itu, hatinya lelah mencintai tanpa tahu arah.

Tepat ketika ia berpikir untuk menyerah pada hari yang muram itu, sebuah suara menyapa lembut dari balik kaca.

“Kalau hanya berdiri, bisa-bisa kamu ikut tumbuh jamur di sana.”

Ia menoleh. Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu sebuah toko kecil. Toko buku, rupanya. Di tangannya, sebuah payung cokelat tua terbuka. Di wajahnya, seulas senyum yang tidak memaksa.

“Masuk dulu. Hujannya belum selesai marah.”

Ia tidak bertanya siapa dia. Hanya mengikuti isyarat tangan itu masuk ke dalam toko, yang sejuk dan wangi—bau kayu tua, lembaran kertas, dan sedikit kopi basi.


Toko buku itu kecil, tapi hangat. Rak-raknya dipenuhi buku dengan sampul pudar, beberapa ditumpuk begitu saja di lantai. Di sudut, ada meja kecil dengan dua kursi dan termos kopi. Ia duduk tanpa diminta, seperti sudah tahu tempat itu memang menunggunya.

Perempuan itu menyeduh dua cangkir kopi hitam tanpa bertanya. Ia duduk di seberangnya, lalu berkata,

“Kamu terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu.”

Ia mengangguk, meski tidak yakin apa yang hilang. Semuanya kabur: mimpinya, arah hidupnya, bahkan dirinya sendiri.

“Kamu sering baca puisi?”
“Kadang,” jawabnya.
“Pernah dengar: 'Setiap hujan punya kenangan yang tidak semua orang pahami, tapi semua orang rasakan.'
“Siapa yang nulis?”
“Nggak tahu. Aku barusan ngarang.”

Ia tertawa kecil. Untuk pertama kalinya hari itu, tawanya tidak getir.


Mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang buku-buku yang terlupakan. Tentang kota yang terlalu cepat. Tentang bagaimana rasanya merasa sendiri di keramaian. Ia mendengarkannya seperti mendengar lagu yang lama hilang dari ingatan.

Waktu berjalan pelan. Hujan masih menari di luar. Dan di dalam toko kecil itu, ia merasa... tenang.

Sampai akhirnya, perempuan itu berdiri.

“Aku harus pergi.”

Ia refleks bertanya, “Tunggu, boleh aku tahu namamu?”

Perempuan itu tersenyum.

“Namaku... tidak penting. Tapi kau akan tahu nanti.”
Lalu ia berjalan ke arah pintu, memegang payung cokelatnya, dan lenyap bersama gerimis sore.


Ia kembali ke kota asalnya keesokan harinya. Tapi toko buku itu membekas seperti puisi yang tak selesai. Sejak hari itu, ia mulai menulis kembali. Tentang toko itu, perempuan itu, dan percakapan yang hanya terjadi sekali.

Naskahnya selesai dalam dua bulan. Diterbitkan. Dibaca banyak orang.

Beberapa tahun berlalu. Ia telah menulis beberapa buku lagi. Tapi naskah pertamanya tetap menjadi yang paling ia cintai.

Sampai suatu malam, saat membuka komentar dari pembaca di situs penerbit, ia menemukan satu komentar anonim.

“Aku suka bagian di mana hujan dan kopi membuat dua orang saling percaya. Terima kasih sudah menulisnya.”

Ia menatap layar lama sekali. Lalu tersenyum.

“Namamu... akhirnya aku tahu.”


Cerita ini bukan tentang cinta yang memiliki.
Bukan tentang pertemuan yang abadi.
Ini tentang seseorang yang datang tepat saat kamu hampir hilang, lalu pergi tanpa pamit—meninggalkan sepenggal cahaya yang tak bisa padam.