Semakin sering mereka bertemu, semakin besar pula ketakutan yang tumbuh di dada Raka. Setiap kali ia melihat Aluna tertawa, bayangan akan hari kepergiannya semakin nyata. Seolah setiap momen bahagia adalah pinjaman waktu yang bisa ditarik kapan saja.

Pesan-pesan singkat mereka tetap hangat, tetapi Raka mulai memperhatikan jarak waktu di antara balasan, mencoba mencari makna dari setiap jeda. Ia tidak ingin mengakui, tapi hatinya mulai dipenuhi pertanyaan yang tak pernah ia ucapkan: “Berapa lama lagi aku punya waktu dengannya?”

Suatu malam di Café Celestia, Raka menyadari dirinya lebih banyak diam. Aluna, yang biasanya penuh cerita, memperhatikan itu.

“Kamu kenapa?” tanyanya lembut.
“Tidak apa-apa,” jawab Raka cepat, tapi matanya menghindar.

Aluna menyandarkan dagu di tangannya, menatapnya dengan alis sedikit mengernyit.

“Kamu sering bilang ‘tidak apa-apa’ belakangan ini. Tapi aku bisa lihat ada sesuatu yang berubah.”

Raka ingin mengatakan semuanya—ketakutannya, kecemasannya, keinginannya agar waktu berhenti—tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia takut jika ia mengaku, semua akan runtuh.

Malam itu mereka pulang tanpa banyak bicara. Dan untuk pertama kalinya, Raka merasakan jarak di antara mereka, jarak yang ia sendiri ciptakan.

Di kamar apartemennya yang sunyi, ia menulis di jurnalnya:

“Aku takut semakin dekat dengannya, semakin sakit rasanya ketika dia pergi. Tapi menjauh pun tidak membuatku tenang. Aku terjebak di antara ingin bertahan dan ingin melindungi diriku sendiri.”

Ketakutan itu tidak terlihat, tapi pelan-pelan mulai menggerogoti segalanya.