Sore itu Café Celestia terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras di luar menambah dinginnya udara, tapi bukan itu yang membuat Raka merasa tidak nyaman. Sejak duduk, ia hampir tidak menatap Aluna.

Aluna memperhatikan perubahan itu.

“Raka… ada apa sebenarnya? Seminggu terakhir kamu seperti menjauh.”

Raka menggeleng, mencoba tersenyum.

“Aku cuma sibuk. Tidak ada apa-apa.”

Aluna menatapnya lama, matanya penuh keraguan.

“Bukan itu. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.”

Tekanan yang selama ini Raka tahan akhirnya pecah.

“Bagaimana kalau aku bilang aku takut? Takut semua ini akan berakhir begitu saja saat kamu pergi!” suaranya meninggi, lebih keras dari yang ia maksudkan.

Aluna terdiam, kaget.

“Raka…”

“Setiap kali aku melihatmu, aku cuma bisa berpikir, berapa lama lagi? Kamu sudah punya jalanmu sendiri, dan aku… aku cuma bagian kecil dari cerita itu.”

Aluna menghela napas panjang, meletakkan sendok di atas meja.

“Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya… ingin kamu percaya bahwa momen ini penting bagiku, sama seperti untukmu.”

“Tapi bagaimana aku bisa percaya kalau setiap hari aku diingatkan bahwa kamu akan pergi?”

Keheningan menyelimuti mereka. Suara hujan yang menabrak kaca menjadi satu-satunya yang terdengar. Aluna menunduk, jemarinya meremas cangkir.

“Mungkin… kita butuh waktu,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Raka ingin menarik kata-katanya, ingin menjelaskan bahwa itu semua karena ketakutannya sendiri. Tapi semuanya sudah terucap, dan ruang di antara mereka terasa lebih jauh dari sebelumnya.

Malam itu, Raka pulang dengan dada kosong. Di jurnalnya, ia hanya menulis satu kalimat:

“Kadang kita sendiri yang menciptakan retakan yang paling kita takuti.”