Hari-hari setelah pertengkaran itu terasa seperti berjalan di atas es tipis. Pesan-pesan mereka semakin jarang, dan ketika ada, hanya berupa kalimat-kalimat pendek yang kehilangan kehangatan.
Raka tetap datang ke Café Celestia, tapi seringkali sendirian. Meja di pojok jendela yang dulu terasa seperti “milik mereka” kini hanya menjadi meja kosong. Musik jazz yang biasanya menenangkan kini terdengar hambar, dan setiap denting lonceng pintu membuatnya berharap—tanpa benar-benar yakin—bahwa Aluna akan muncul.
Mereka masih bertemu sesekali, tapi percakapan yang dulu mengalir kini tersendat. Senyum Aluna tetap ada, tapi seperti ada lapisan jarak di baliknya.
“Kamu terlihat capek,” kata Aluna suatu malam, suaranya datar.“Mungkin,” jawab Raka singkat, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Di rumah, Raka mencoba menulis, tapi kata-kata tak lagi mengalir. Halaman kosong di laptopnya terasa seperti cermin dari pikirannya sendiri—beku, tak bergerak.
Ia mulai menyadari bahwa ketakutannya yang dulu hanya bayangan kini perlahan menjadi kenyataan: ia kehilangan Aluna sedikit demi sedikit, bahkan ketika mereka masih duduk di meja yang sama.
Di jurnalnya, ia menulis:
“Kadang kehilangan tidak datang tiba-tiba. Ia merayap perlahan, membekukan jarak di antara dua hati yang dulu begitu dekat.”
Untuk pertama kalinya, Raka bertanya-tanya apakah ada jalan kembali dari jarak yang telah tercipta ini, ataukah mereka sudah berjalan terlalu jauh.