Pertemuan komunitas hari itu berlangsung di sebuah kafe kecil. Para anggota berkumpul untuk membagikan hasil photo walk minggu lalu. Davin datang sedikit terlambat, buru-buru membuka laptopnya untuk menyiapkan beberapa foto yang akan ia tampilkan.
Sambil memindahkan file ke folder presentasi, ia meninggalkan layar laptop terbuka dan berjalan ke kasir untuk memesan kopi. Saat kembali, ia melihat salah satu anggota komunitas, Rafi, berdiri di samping mejanya dengan ekspresi penasaran.
“Eh, sorry, Vin… gue nggak sengaja kepencet foldernya. ‘Smile’, ya? Banyak banget fotonya,” kata Rafi sambil menggaruk kepala, terlihat sedikit salah tingkah.
Davin membeku. Pandangannya langsung jatuh pada layar laptop: folder “Smile” terbuka, menampilkan deretan foto Nadya—semuanya diambil jauh sebelum Davin mengenalnya. Ada senyum-senyum kecil, tawa, bahkan momen ketika Nadya tidak sadar sedang difoto.
“Oh… itu koleksi pribadi gue,” jawab Davin cepat, berusaha menahan nada panik di suaranya. Ia menutup folder itu dengan gerakan terlalu cepat. “Nggak penting kok.”
Rafi hanya mengangguk, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa rasa penasarannya belum hilang. “Oke… santai aja, bro. Gue nggak bakal ngomong ke siapa-siapa.”
Namun Davin tahu dunia kecilnya sudah retak. Sepanjang sesi, ia sulit fokus. Setiap kali mata Nadya bertemu dengan matanya di seberang meja, ada rasa takut aneh yang menghantam—bagaimana kalau Rafi cerita ke orang lain? Bagaimana kalau Nadya tahu?
Di rumah, Davin menatap folder itu lama, jarinya menggantung di atas tombol delete. Bagian dari dirinya ingin menghapus semuanya, mengakhiri rasa bersalah yang terus menghantuinya. Tapi setiap kali ia mencoba, rasa candu itu menahannya. Foto-foto itu bukan sekadar gambar; mereka adalah jejak perjalanannya, potongan dari hari-hari yang mengubahnya.
Untuk pertama kalinya, Davin merasa rahasianya tidak lagi aman. Ketakutan yang dulu samar kini menjadi nyata: dunia yang ia bangun di balik lensa bisa runtuh kapan saja.