Sejak pertemuan di kafe itu, ada jarak yang tak kasat mata antara Davin dan Nadya.

Mereka masih bertemu di komunitas City Lens, masih berbincang tentang teknik foto atau hasil photo walk, tapi percakapan mereka kehilangan kehangatan yang dulu. Senyum Nadya tetap ada, namun tidak lagi ditujukan dengan mudah padanya.

Davin merasakannya setiap kali Nadya tertawa dengan anggota lain—ada rasa getir yang menekan dadanya. Ia tahu ia tidak bisa memaksa. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan kini menjadi dinding di antara mereka.

Malam-malam Davin kembali diwarnai oleh folder “Smile”. Kali ini, ia melihat foto-foto itu dengan perasaan berbeda: bukan lagi candu yang menghangatkan, melainkan pengingat tajam tentang jarak yang ada. Setiap foto seperti berkata, “Ini dulu, bukan sekarang.”

Reza, sahabatnya di kantor, akhirnya tak tahan melihat perubahan Davin.
“Lu kenapa sih, Vin? Minggu lalu kayaknya udah lumayan deket sama Nadya, sekarang malah kayak orang kalah perang,” tanyanya suatu malam.

Davin hanya menggeleng. “Gue… kebanyakan berharap, mungkin.”

Hari-hari berlalu. Nadya tetap bersikap sopan, tapi ada jeda di setiap interaksi, seolah ia masih mencerna semuanya. Suatu kali, ketika sesi photo walk selesai, Nadya sempat berjalan berdua dengannya.
“Aku nggak marah sama kamu, Vin,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan. “Aku cuma… butuh waktu buat ngerti semua ini.”

Davin mengangguk. “Aku ngerti. Aku nggak mau maksa apa-apa. Aku cuma… pengen ada di sekitar kamu.”

Nadya tersenyum kecil, kali ini dengan kehangatan samar. “Kita lihat aja, ya.”

Malam itu, Davin pulang dengan hati yang masih berat, tapi ada secercah harapan. Setidaknya Nadya tidak menutup pintu sepenuhnya.

Namun, ia sadar satu hal: jika ia ingin kehadirannya berarti untuk Nadya, ia harus berhenti menjadi bayangan yang hanya mengagumi dari jauh. Ia harus membuktikan bahwa perasaannya nyata, bukan sekadar candu dari senyum yang pernah ia abadikan.