Komunitas City Lens mendapat kesempatan emas: mereka diminta menggarap proyek dokumentasi untuk sebuah festival budaya kota. Proyek ini cukup besar, dan ketua komunitas memutuskan untuk membentuk tim inti beranggotakan lima orang—termasuk Davin dan Nadya.
“Ini kesempatan kita nunjukkin kualitas komunitas kita,” ujar ketua komunitas dalam rapat persiapan. “Setiap orang punya tugas masing-masing. Davin, kamu jadi koordinator dokumentasi utama. Nadya, kamu jadi second shooter.”
Selama persiapan, Davin dan Nadya mulai lebih sering bertemu untuk membahas teknis pemotretan: angle terbaik, penjadwalan, pembagian area liputan. Suasana antara mereka masih agak kaku, tetapi perlahan mencair. Nadya mulai mengajukan pendapatnya dengan antusias, dan Davin mulai merasakan kembali kebersamaan yang sempat hilang.
Davin mengangkat bahu. “Aku cuma nggak mau ada yang kelewat.”
Namun di balik ketenangan itu, ada rasa takut yang terus menghantui. Folder “Smile” masih ada di laptop yang sama. Satu klik yang salah, satu mata yang salah melihat, dan semua usahanya untuk memperbaiki hubungan bisa runtuh.
Semua orang bersorak kecil. Namun di tengah kebahagiaan itu, Davin mendapat pesan dari Rafi:
Rafi:“Vin, gue nemu folder lama di laptop backup komunitas. Kayaknya itu foto-foto lu… yang ‘Smile’ itu. Aman, kan kalau kepake?”
Darah Davin seakan berhenti mengalir. Folder itu…?
Di tengah keberhasilan yang baru saja mereka raih, masa lalunya kembali menghantuinya, mengancam semua kepercayaan yang baru mulai ia bangun.