Komunitas City Lens mendapat kesempatan emas: mereka diminta menggarap proyek dokumentasi untuk sebuah festival budaya kota. Proyek ini cukup besar, dan ketua komunitas memutuskan untuk membentuk tim inti beranggotakan lima orang—termasuk Davin dan Nadya.

“Ini kesempatan kita nunjukkin kualitas komunitas kita,” ujar ketua komunitas dalam rapat persiapan. “Setiap orang punya tugas masing-masing. Davin, kamu jadi koordinator dokumentasi utama. Nadya, kamu jadi second shooter.”

Davin merasakan jantungnya berdebar. Bekerja satu tim dengan Nadya berarti banyak waktu bersama, tapi juga banyak ruang untuk salah langkah.
“Siap,” jawabnya, mencoba terdengar tenang.

Selama persiapan, Davin dan Nadya mulai lebih sering bertemu untuk membahas teknis pemotretan: angle terbaik, penjadwalan, pembagian area liputan. Suasana antara mereka masih agak kaku, tetapi perlahan mencair. Nadya mulai mengajukan pendapatnya dengan antusias, dan Davin mulai merasakan kembali kebersamaan yang sempat hilang.

Suatu sore, mereka duduk berdampingan di sebuah kafe untuk merencanakan sesi liputan. Nadya menatap layar laptop Davin yang menampilkan rundown acara.
“Kamu rapi banget, ya. Semua detailnya lengkap,” katanya, senyum tipis muncul.

Davin mengangkat bahu. “Aku cuma nggak mau ada yang kelewat.”

Namun di balik ketenangan itu, ada rasa takut yang terus menghantui. Folder “Smile” masih ada di laptop yang sama. Satu klik yang salah, satu mata yang salah melihat, dan semua usahanya untuk memperbaiki hubungan bisa runtuh.

Festival pun tiba. Di tengah keramaian, Davin dan Nadya bekerja berdampingan, saling membantu menangkap momen-momen penting. Ada satu momen ketika Nadya terhuyung sedikit karena tersandung kabel, dan Davin refleks menangkap lengannya.
“Thanks,” kata Nadya, senyum singkat terbit di wajahnya. Senyum itu sederhana, tapi bagi Davin, seperti cahaya yang menembus awan tebal.

Di akhir hari, ketika mereka meninjau hasil foto bersama tim, seorang panitia festival menghampiri.
“Foto-foto ini luar biasa. Kami mungkin ingin memajangnya di pameran penutup festival,” katanya.

Semua orang bersorak kecil. Namun di tengah kebahagiaan itu, Davin mendapat pesan dari Rafi:

Rafi:
“Vin, gue nemu folder lama di laptop backup komunitas. Kayaknya itu foto-foto lu… yang ‘Smile’ itu. Aman, kan kalau kepake?”

Darah Davin seakan berhenti mengalir. Folder itu…?

Di tengah keberhasilan yang baru saja mereka raih, masa lalunya kembali menghantuinya, mengancam semua kepercayaan yang baru mulai ia bangun.