Sejak percakapan itu, dunia Davin terasa berbeda.
Ia sudah tidak lagi bersembunyi di balik rahasia, namun kenyataan yang baru justru terasa lebih menakutkan. Nadya tahu semuanya—tentang foto-foto itu, tentang bagaimana perasaan Davin terbentuk dari potongan-potongan senyumnya.
Di setiap pertemuan komunitas City Lens, Davin merasakan adanya jarak. Nadya tidak menjauh, tapi juga tidak mendekat. Senyum yang biasanya mudah mengalir kini terlihat hati-hati, seolah Nadya masih mencari tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Davin.
Davin menoleh. Nadya berdiri di sana, wajahnya diterpa cahaya senja. Senyum samar tersungging di bibirnya—senyum yang dulu jadi candu, tapi kini terasa berbeda. Ada sesuatu di balik senyum itu: sebuah kesadaran, mungkin juga kehati-hatian.
“Aku… lagi cari angle lain,” jawab Davin, mencoba tersenyum.
Nadya mendekat, berdiri di sampingnya. “Aku udah lihat semua fotomu. Sekarang aku pengin lihat kamu motret dengan cara kamu yang sebenarnya, tanpa sembunyi-sembunyi.”
Davin terdiam sejenak, lalu mengangkat kameranya. Nadya tidak menghindar. Ia malah berdiri tenang, menatap ke arah lensa dengan senyum tipis yang tulus namun penuh makna. Davin menekan tombol shutter—klik—dan dalam sekejap, ia tahu ini foto yang berbeda dari ratusan foto sebelumnya.
Malamnya, Davin membuka hasil foto itu. Ada sesuatu yang berubah: senyum Nadya kali ini bukan senyum yang diam-diam ia curi, melainkan senyum yang diberikan langsung padanya. Rasanya lebih nyata, namun juga lebih rapuh.
Di layar laptop, foto itu berdiri sendiri. Untuk pertama kalinya, Davin merasa folder “Smile” sudah tidak lagi memiliki kekuatan yang sama. Senyum ini, yang baru saja ia abadikan, adalah awal dari sesuatu yang baru—atau mungkin akhir dari masa lalu yang selama ini menghantuinya.