Sejak menerima surat dari Aluna, hari-hari Raka terasa berbeda. Tidak ada lagi penantian yang menyakitkan; yang ada hanyalah kesadaran bahwa jejak Aluna tertinggal di setiap sudut hidupnya.
Ia melihatnya di sapuan warna senja yang menembus kaca jendela kantornya, di aroma kopi Celestia yang masih menjadi bagian dari rutinitasnya, bahkan di setiap kalimat yang ia tulis. Jejak-jejak itu tidak menyiksa—mereka hadir sebagai pengingat lembut, seolah Aluna masih berjalan bersamanya dari jauh.
“Jejakmu tetap ada di sini,” bisiknya, “dan mungkin di mana-mana.”
Tulisan Raka semakin berkembang. Kumpulan cerpennya akan segera terbit, dan ia memilih judul yang sederhana namun penuh makna: “Jejak yang Tertinggal”. Ia tahu, setiap cerita di dalamnya adalah potongan kenangan—bukan untuk mengikat Aluna, tapi untuk menghormati perjalanan mereka.
Malam itu, saat menulis di Café Celestia, Raka merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: kedamaian. Kehadiran Aluna kini bukan lagi luka, melainkan bagian dari dirinya yang terus hidup.
“Mungkin kita tidak selalu berjalan berdampingan, tapi jejakmu akan selalu ada di jalanku,” tulisnya di jurnal sebelum menutupnya.