Satu tahun telah berlalu.
Komunitas City Lens merayakan ulang tahunnya di sebuah galeri kecil, menampilkan karya terbaik anggota sepanjang tahun. Di tengah deretan foto, ada satu foto yang menjadi pusat perhatian: potret Nadya tertawa lepas, cahaya matahari senja memeluk wajahnya.
Davin berdiri beberapa langkah dari foto itu, tersenyum samar. Itu foto yang ia ambil beberapa bulan lalu, yang dipilih oleh tim kurator untuk menjadi highlight pameran. Kali ini, tidak ada rahasia di baliknya—Nadya tahu, dan bahkan ia sendiri yang mengizinkan foto itu dipajang.
“Lucu juga lihat fotoku dipajang kayak gini,” suara Nadya terdengar di sampingnya. Ia berdiri di sana, mengenakan dress sederhana, menatap fotonya sendiri dengan senyum hangat.
“Lucu kenapa?” tanya Davin.
“Dulu aku nggak ngerti kenapa senyumku bisa berarti banyak buat seseorang. Sekarang… aku ngerti kenapa kamu jatuh cinta sama ‘senyum itu’,” katanya, melirik Davin.
Davin merasakan jantungnya berdebar, tapi ia tersenyum. “Sekarang aku nggak cuma jatuh cinta sama senyumnya, tapi sama orang di baliknya.”
Nadya tersipu, lalu tertawa kecil. “Kamu tahu, dulu aku takut kalau semua ini cuma tentang foto-foto itu. Tapi sekarang aku tahu… kamu lihat aku lebih dari itu.”
Davin menatapnya, lalu berkata lirih, “Aku juga. Dan kalau boleh jujur… aku masih candu sama senyummu. Tapi sekarang aku bisa melihatnya tanpa rasa bersalah.”
Untuk pertama kalinya, Davin menyadari bahwa candu itu tidak pernah benar-benar hilang—ia hanya berubah menjadi sesuatu yang lebih indah: rasa syukur karena senyum yang dulu ia kagumi dari jauh kini menjadi bagian dari hidupnya.